Sabtu, 21 September 2013

Membangkitkan Semangat Pemuda Dengan Sholawat, oleh: Poejangga_Blegedes


Pemuda merupakan agen of change suatu bangsa. Hakikatnya, perubahan ini didasarkan pada kebangkitan akan perubahan untuk kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara agar lebih baik. Kebangkitan pemuda diharapkan menjadi pemersatu bangsa untuk melanjutkan cita-cita luhur para pejuang pendahulu. Kebangkitan pemuda ini tercerminkan pada perbaikan dan kemajuan akhlak dengan meneladani sosok Beliau Kanjeng Nabi Muhamammad SAW.
Aspek kehidupan tidak lepas dari peran serta pemuda. Sholawat dapat dijadikan tradisi bagi pemuda sehingga akan terwarnai kebiasaan-kebiasaan dan cara berpikir yang dapat membangkitkan semangat dalam menjalankan berbagai aspek kehidupan. Tidak hanya perbaikan pola berpikir yang harus ditanamkan, tetapi juga perbaikan cara berinteraksi dan bertingkah laku. Kecenderungan saat ini, adanya ketimpangan dalam perbaikan karakter yang cenderung lebih mengesampingkan perbaikan karakter.
Kecintaan pada suatu hal menjadikan seseorang untuk banyak memuji, meniru dan meneladani segala yang berhubungan dengan yang dicintainya. Bersholawat merupakan jalan untuk mendapatkan rahmat Allah SWT serta obat kerinduaan terhadap Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Tentunya, Rosulullah SAW merupakan teladan terbaik yang patut dicontoh oleh kaum muda. Dari Abdullah bin Amr bin Ash ra. bahwasanya  ia mendengar Rosulullah SAW bersabda: “Barangsiapa bersholawat kepadaku sekali, maka Allah Memberikan rahmat kepadanya sepuluh kali”(HR. Muslim).
Para ulama Salafunassholeh banyak menciptakan syair-syair indah memuji dan menggambarkan kesempurnaan akhlak Beliau. Al Habib Al ‘Alamah Ali bin Muhammad bin Husain Al Habsyi contohnya dalam kitab Maulid Simtudduuror (Habsy) bersyair “Beliau adalah pusat perpaduan bagi segala tiada banding dalam fisik dan perilakunya karena mendapat kekhususan termulia”. Patutlah bagi pemuda untuk menjadikan sholawat sebagai tradisi sebagai rasa cinta untuk mengenal sosok Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Hal ini dapat dijadikan landasan bagi pemuda untuk bisa mengenal dan mencotoh kepribadian Rosulullah SAW, sehingga menumbuhkan semangat pemuda untuk siap mengemban amanah memimpin bangsa kedepannya.


By: NAW



Senin, 15 Juli 2013

MAKNA TURI-TURI PUTIH (buah karya SUNAN GIRI)

Bagi masyarakat Jawa, peninggalan wali sanga berupa lagu “Turi-turi Putih” sudah tidak asing lagi. Bahkan ada sebagian masyarakat menyelinginya dengan bacaan shalawat. Lagu tersebut merupakan peninggalan wali songo, khususnya Sunan Giri. Memang tak ada bukti valid soal itu, tetapi satu hal bahwa lagu tersebut begitu populer dan digemari masyarakat. Jauh lebih penting dari itu, ternyata lagu tersebut mengandung pesan ajaran kearifan, kesadaran akan kematian, akan amal setelah manusia meninggal.

Begitulah pesan Jadi tembang bagi kanjeng Sunan Giri bukan sekedar bunyi dan irama yang enak didengar, tetapi pesan yang disimpan jauh lebih membekas dan membuat orang begitu menghayati lagu tersebut.


“Turi-turi putih,
Ditandur neng kebon agung,
Turi-turi putih
Ditandur ning kebon agung
Cumleret tiba nyemplung
Gumlundhung kembange apa,
Mbok ira,
Mbok ira,
Mbok ira,
Kembange apa?”

Terjemahan :
TURI-TURI PUTIH
Turi, artinya tak aturi: (saya kasih tahu).
Putih itu simbolisme dari kain kafan/ pocongan: orang mati yang dibungkus dengan kain kafan (kain mori warna putih).
Arti selengkapnya: Saya kasih tahu, bahwa kelak manusia itu akan mati.

DITANDUR NING KEBUN AGUNG: di tanam di kebon agung,
Artinya mati di kubur di sebuah makam.

CUMLERET TIBA NYEMPLUNG:
Sebuah gambaran dari orang mati yang sedang dimasukkan dalam kuburan waktunya cepat seperti kilat jatuh

GUMLUNDUNG KEMBANGE APA
Maksudnya, setelah orang yang mati itu selesai dikubur, maka kemudian akan diberi pertanyaan oleh malaikat soal amal perbuatannya.

MBOK IRA
MBOK IRA
MBOK IRA
KEMBANGE APA?
Mbok iro, adalah simbol manusia yang sudah meninggal, selalu akan ditanya:
Amal apa yang sudah Kamu diperbuat?
Bekal apa yang akan kamu dibawa?

Begitulah, makna yang bisa diambil dari lagu tersebut. Namun, pada perkembangannya, sudah dimunculkan jawaban-jawabannya. Misalnya adalah lirik tambahan yang bukan karya kanjeng sunan, seperti:
Mbok kira mbok kira mbok kira kembange apa?
Kembang-kembang m’lathi
Kembang m’lathi dironce-ronce
(Orang mati pada kelihatannya (biasanya) adalah membawa bunga melati yang dirangkai, dikalungkan pada peti jenazah.

Namun bukan itu yang sebenarnya yang dikehendaki Kanjeng sunan giri. Tetapi amal ketika hidup.

Maka lirik tambahan selanjutnya adalah:
Sing kene setengah mati
Sing kana ‘ra piye piye
Yang ada di sini (di dunia) susah setengah mati, tetapi yang di sana tidak ada apa-apa.
Ini adalah pandangan mata manusia pada umumnya.

Bagi mereka yang mau belajar dan mencari hikmah, justru hidup di dunia ini adalah kesusahan dalam rangka mempersiapkan amal kelak meninggal. Jika itu bisa dilakukan, maka benar adanya di sana dia tidak ada masalah yang berarti (sing kana ra piye piye) tetapi jika tidak ada amal, justru kehidupan di sanalah yang akan susah setengah mati.

Manusia lupa, bahwa dikubur siksanya setengah mati, tapi mereka hidup Ra piye-piye tidak melakukan tindakan dan amalan yang baik untuk bekal di alam kubur nanti.

Sebaik-baiknya peringatan adalah kematian.

Senin, 08 Juli 2013

KH.BISRI MUSTHOFA, SINGA PODIUM’ YANG PRODUKTIF MENULIS


Mbah Bisri Mustofa, adalah figur kiai yang alim dan kharismatik. Pendiri pondok pesantren Raudhatut Thalibin Rembang Jawa Tengah ini, dilahirkan di Kampung Sawahan Gang Palen Rembang Jawa Tengah pada tahun 1915.Semula, oleh kedua orang tuanya, H. Zaenal Mustofa dan Chotijah, ia diberi nama Mashadi,ketiga saudaranya yang lain adalah ,Salamah (Aminah), Misbach, dan Ma’shum, Setelah menunaikan ibadah haji pada tahun 1923 , Ia mengganti nama dengan Bisri. Selanjutnya. Ia dikenal dengan nama Bisri Mustofa. Mbah Bisri, belajar dan menekuni ilmu-ilmu agama di pesantren Kasingan Rembang, yang diasuh oleh Kiai Cholil,dipesantren ini, Mbah Bisri muda, menekuni ilmu-ilmu agama ,terutama ilmu nahwu, dengan kitab Alfiah sebagai pegangan utamanya..
Selain di pesantren Kasingan, Mbah Bisri juga mengaji pasanan (pengajian pada bulan puasa) di pesantren Tebuireng Jombang, asuhan KH Hasyim Asy’ari.dan untuk memperdalam ilmunya, Mbah Bisri juga mengaji di kota suci Makah tahun 1936, kepada Kiai Bakir, Syaikh Umar, Syaikh Umar Khamdan al-maghribi, Syaikh Maliki, Sayyid Amin, Syaikh Hasan Masysyath, dan Kiai Muhaimin. Kiai Cholil Kasingan,selain sebagai guru, adalah juga sebagai mertua Mbah Bisri, ia dinikahkan dengan putri Kiai Cholil yang bernama Ma’rufah. Setelah wafatnya Kiai Cholil, Mbah Bisri ikut aktif mengajar di pesantren milik mertuanya tersebut di Kasingan Rembang. Selanjutnya sewaktu pesantren Kasingan bubar, seiring pendudukan Jepang, Mbah Bisri meneruskan pesantren tersebut dengan mendirikan pesantren di Leteh Rembang yang kemudian diberi nama,pesantren Raudhatut Thalibin. Pesantren ini sampai sekarang berkembang sangat pesat.
Sosok Demokratis, Sayang terhadap Putra-Putri, Santri dan Umat
Mbah Bisri beoleh dibilang sosok yang demokratis, sayang terhadap para putra-putrinya, santri dan umat. Dalam mendidik santri-santrinya Mbah Bisri mengedepankan kasih sayang dan kesuriteladanan. Saking cintanya kepada para santri, dalam setiap kali mengisi ceramah, Mbah Bisri selalu memohon kepada Allah SWT seandainya pengajiannya itu mendapat imbalan pahala dari Allah SWT maka sebaiknya pahala itu diganti supaya hati para santri cepat terbuka. Ini merupakan pengakuan Mbah Bisri sendiri sebagaimana kesaksian muridnya KH Wildan Abdulchamid, Ketua MUI Kendal. Mbah Bisri juga sangat dekat dan sayang dengan umat, dari kelas mana saja. Beliau menerima siapa saja yang bertamu ke rumahnya, tak pandang derajat dan pangkatnya. Rumahnya terbuka untuk umum.
Beliau juga menghadiri setiap undangan ceramah dari siapa pun. Kecuali jika ada halangan yang benar-benar memaksanya untuk tidak bisa hadir. Terhadap putra-putrinya pun Mbah Bisri juga sangat sayang dan dalam mendidik dikenal cukup demokratis. Sebagaimana pengakuan putra pertamanya, KH.Cholil Bisri (alm), bahwa abahnya tidak pernah memaksakan anak-anaknya harus begini, dan harus begitu. Mbah Bisri tidak pernah memaksakan anaknya dalam hal pendidikan, misalnya, harus urut (teratur dalam jenjang pendidikan). Mbah Bisri juga tidak memaksakan dalam hal menentukan jodoh anak-anaknya. Ia hanya memberikan kriteria-kriteria, yaitu kriteria pasangan yang bisa diajak berjuang.
Sikap demokratis dan tidak mau dipaksa, dan memaksa orang itu, bisa dilihat dari cerita, ketika Mbah Bisri muda, hendak dinikahkan dengan putri Kiai Murtadho, Makam Agung Tuban. Ketika itu, bulan Sya’ban tahun 1934 M, Bisri muda diajak oleh KH Cholil, gurunya di Kasingan Rembang, untuk pergi ke Tuban Jawa Timur. Kepergian tersebut tidak jelas apa tujuan dan mengapa Mbah Bisri muda diajak. Setelah sampai di Jenu, di rumah KH. Chusain, KH Cholil berkata kepada Mbah Bisri muda: “Engkau mau nggak saya akui sebagai anak saya dunia-akhirat?” Tentu saja Mbah Bisri muda menjawab: “Ya mau Syaichuna.” KH Cholil meneruskan : “Kalau begitu Engkau harus patuh kepadaku.” Mbah Bisri muda pun diam sebagai tanda tidak menolak.
Kemudian KH Cholil berkata lagi; “Engkau akan saya kawinkan dengan puteri KH Murtadho Makam Agung Tuban. Puterinya itu ayu, manis, dan Bapaknya yaitu KH Murtadho adalah seorang kiai yang alim, beruntung Engkau menjadi menantunya.” Akan tetapi, Mbah Bisri muda memberanikan diri untuk menolak, perintah kawin tersebut. Ia merasa belum pantas untuk menikah, karena ilmu yang ia pelajari masih sangat kurang. KH Cholil kemudian menjawab bahwa justru itu sebabnya Bisri muda akan dikawinkan dengan puteri seorang kiai besar dan alim, agar nantinya ia menjadi orang laim juga. Tanpa diberikan kesempatan membalas bicara, Mbah Bisri muda langsung diajak masuk ke rumah Kiai Murtadho Tuban. Di tempat itu sepertinya sudah dipersiapkan segala hal, untuk menerima tamu KH Cholil dan Bisri muda yang akan melakukan khitbah (pertunangan) kepada puteri Kiai Murtadho. Sesampai di rumah tujuan, Bisri muda merasa beruntung, karena sang puteri yang akan ditunangkan dengannya ternyata lari dan bersembunyi ketika melihatnya.
Hal ini yang dijadikan alasan Bisri muda untuk menolak perintah kawin. Tetapi KH Cholil sudah melakukan perundingan dengan KH Murtadho bahwa keputusan mengawinkan Bisri muda dengan puteri KH Murtadho sudah bulat. Telah diputuskan bahwa pada tanggal 7 Syawal tahun 1934 M , Kiai Murtadho akan bertandang ke Rembang bersama puterinya untuk khitbah (tunangan) dan sekaligus dilangsungkan dengan akad nikah. Tanggal 3 Syawal,beberapa hari sebelum kerawuhan KH Murtdlo dan putrinya, Bisri muda ditemani Sdr. Mabrur meninggalkan Rembang tanpa pamit kepada siapapun. Hal ini ia lakukan sebagai bentuk penolakan dari perintah kawin tersebut. `
Keduanya merantau ke Demak, Sayung, Semarang, kaliwungu, Kendal, dengan berbekal uang yang pas-pasan. Setiap keduanya mampir ke tempat teman atau orang tua teman, keduanya mendapat tambahan bekal. Hal ini dilakukan selama satu bulan lebih. Rantauan paling lama beliau tempati adalah daerah kampung Donosari Pegandon Kendal. Setelah sebulan lebih hidup diperantauan,Ia kembali ke Rembang. Bisri muda langsung menghadap KH Cholil dan meminta maaf atas kelakuannya terebut. Dijabatnya tangan KH Cholil, tetapi tidak sepatah kata pun terucap dari mulut KH Cholil. Walau Bisri muda mau pamit kembali, dan menjabat tangan KH Cholil, tetapi sang Kiai masih saja berdiam diri. Seperti biasanya Bisri muda mengikuti kembali pengajian-pengajian di pesantren dan dalam setiap pertemuan itu Bisri muda sama sekali tidak ditanya oleh KH Cholil sebagaimana biasanya.
Tahun 1932 M, Bisri muda minta izin kepada KH Cholil untuk meneruskan mondok ke Termas untuk mengaji dengan Kiai Dimyati. Tetapi KH Cholil tidak mengizinkan. Sementara Bisri muda merasa dikucilkan oleh KH Cholil gara-gara tidak mau dinikahkan dengan putri KH Murtadho. “Pengucilan” tersebut, sampai sekitar setahun lebih, dan berakhir dengan berita di luar dugaan. Berita itu adalah, tentang keinginan KH Cholil untuk mengambil Bisri muda sebagai menantunya. Bisri muda akan dijodohkan dengan puteri KH Cholil, yang bernama Ma’rufah. Berita itu ia dapatkan dari ibunya ketika Beliau pulang ke rumahnya di Sawahan. Ibunya menceritakan bahwa KH Cholil telah datang kepadanya dan meminta Bisri untuk dijadikan menantunya.
Bisri kemudian mengalami kebingungan mendengar berita tersebut. Akan tetapi setelah melihat bahwa ibu dan seluruh keluarganya termasuk kakaknya H Zuhdi menyetujuinya, maka hati Bisri menjadi mantap dan setuju untuk menikah. Setelah segala sesuatunya dipersiapkan maka tanggal 17 Rajab 1354 H / Juni 1935 dilaksanakan akad nikah antara Bisri dengan Ma’rufah binti KH Cholil. Pada waktu itu Bisri berusia 20 tahun dan Ma’rufah juga berusia 20 tahun. Setelah menjadi menantu KH Cholil, Bisri muda membantu mengajar di pesantren KH Cholil, pesantren dimana Bisri muda menemba ilmu. Pernikahannya ini dikaruniai delapan orang anak, yaitu; Cholil (lahir 1941), Mustofa (lahir 1943), Adieb (lahir 1950), Faridah (lahir 1952), Najichah (lahir 1955), Labib (lahir 1956), Nihayah (lahir 1958) dan Atikah (lahir 1964). Seiring perjalanan waktu, Mbah Bisri kemudian menikah lagi dengan seorang perempuan asal Tegal Jawa Tengah bernama Umi Atiyah. Peristiwa tersebut kira-kira tahun 1967-an. Dalam pernikahan dengan Umi Atiyah tersebut ,Mbah Bisri dikaruniai satu orang putera laki-laki bernama Maemun.
Produktif Menulis
Ditengah kesibukannya mengajar di pesantren, menjadi penceramah, bahkan politisi. Mbah Bisri tetap menyempatkan diri untuk menulis,, dan waktu luangnya, tidak dilewatkannya begitu saja, bahkan di kereta, di bus, di mana saja ,Ia sempatkan untuk menulis. Banyak kitab, baik bertema berat, maupun ringan,lahir sebagai karya tulisnya. Di antara karyanya yang paling terkenal adalah, tafsir Al-Ibriz, yang disusun kembali dari penjelasan pengajian beliau oleh tiga orang santri, yaitu : 1) Munshorif, 2) Maghfur, dan 3).
Ahmad Shofwan (sekarang tinggal di Benowo Surabaya) kemudian kitab Al-Usyuthy, terjemahan kitab Imrithy, dan kitab Ausathul Masalik terjemahan kitab Alfiyah Ibnu Malik. Tidak hanya tema-tema yang berat saja yang ditulis oleh Mbah Bisri, tema-tema yang ringan pun ternyata juga Beliau tulis, seperti buku kumpulan anekdot Kasykul, Abu Nawas, novel berbahasa Jawa Qohar lan Sholihah; naskah drama Nabi yusuf lan Siti Zulaikha; Syiiran Ngudi Susilo; dsb. Di luar kitab-kitab dan buku-buku tersebut, masih banyak karya-karya lain yang berhasil ditulisnya. Dalam menulis, Mbah Bisri mempunyai ‘falsafah’ yang menarik.
Sebagaimana dikisahkan oleh Gus Mus, salah seorang putra Mbah Bisri, bahwa pernah suatu ketika, beliau berbincang-bincang dengan salah seorang sahabatnya, yakni Kiai Ali Maksum Krapyak, tentang tulis-menulis ini. “Kalau soal kealiman, barangkali saya tidak kalah dari sampeyan, bahkan mungkin saya lebih alim,” kata Kiai Ali Maksum ketika itu, dengan nada kelakar ,seperti biasanya, “tapi mengapa Sampeyan bisa begitu produktif menulis, sementara saya selalu gagal di tengah jalan. Baru separo atau sepertiga, sudah macet tak bisa melanjutkan.”. Dengan gaya khasnya, masih cerita Gus Mus, Mbah Bisri menjawab: “Lha soalnya Sampeyan menulis lillahi ta’ala sih!” Tentu saja jawaban ini mengejutkan Kiai Ali. “Lho Kiai menulis kok tidak lillahi ta’ala; lalu dengan niat apa?” Mbah Bisri menjawab: “Kalau saya, menulis dengan niat nyambut gawe. Etos, saya dalam menulis sama dengan penjahit. Lihatlah penjahit itu, walaupun ada tamu, penjahit tidak akan berhenti menjahit.
Dia menemui tamunya sambil terus bekerja, soalnya bila dia berhenti menjahit ,periuknya bisa ngguling,saya juga begitu, kalau belum-belum, sampeyan sudah niat yang mulia-mulia, setan akan mengganggu sampeyan dan pekerjaan sampeyan tak akan selesai..”katan Mbah Bisri..”… Lha nanti kalau tulisan sudah jadi, dan akan diserahkan kepada penerbit, baru kita niati yang mulia-mulia, linasyril ‘ilmi atau apa. Setan perlu kita tipu.” Lanjut Mbah Bisri sambil tertawa. (Gus Mus dalam Taqdim buku Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah KH Bisri Mustofa, LkiS, Jogja, 2005, hlm. xxi-xxii).

Agamawan Moderat
Pemikiran keagamaan Mbah Bisri oleh banyak kalangan dinilai sangat moderat. Sifat moderat Mbah Bisri merupakan sikap yang diambil dengan menggunakan pendekatan ushul fiqh yang mengedepankan kemashlahatan dan kebaikan umat Islam yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi zaman serta masyarakatnya. Pemikiran Mbah Bisri sangat kontekstual. Mbah Bisri Mustofa,adalah seorang ulama Sunni, yang gigih memperjuangkan konsep Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Obsesinya untuk membumikan konsep Ahlus Sunnah Wal Jamaah dibuktikan dengan dibuatnya buku tentang Ahlus Sunnah Wal Jamaah, yang sampai tiga kali revisi, untuk disesuaikan dengan kebutuhan zaman dan masyarakat. Ia juga menyerukan adanya konsep amar ma’ruf nahi munkar yang dimaknai dan didasari oleh solidaritas dan kepedulian sosial. Obsesinya untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar ini ditunjukkan dengan disejajarkannya konsep tersebut dengan rukun-rukun Islam yang ada lima. Mbah Bisri sering mengatakan bahwa seandainya boleh maka rukun Islam yang ada lima itu ditambah rukun yang keenam yakni amar ma’ruf nahi munkar. Pemikiran-pemikiran Mbah Bisri tersebut biasanya dituangkan dalam tulisan-tulisan. Salah satu buku beliau yang menjadi acuan Ahlussunnah wal jamaah adalah buku yang berjudul "Apa, Bagaimana dan Siapa Itu Ahlussunnah Wal Jamaah?" yang dapat dibaca dengan mudah di situs ini juga.

Menjadi Pejuang Gigih dan Macan Podium
Darah pejuang agaknya sudah kental dalam diri Mbah Bisri. Sejak era penjajahan Belanda, Jepang, era kemerdekaan, sampai akhir hayatnya, Beliau adalah pejuang yang gigih. Setelah Indonesia merdeka, Mbah Bisri sangat bersemangat untuk ikut membangun bangsa ini. Dalam kancah politik beliau disegani oleh semua kalangan. Sebelum NU keluar dari Masyumi, Mbah Bisri merupakan aktivis Masyumi yang gigih berjuang. Akan tetapi setelah NU menyatakan keluar dari Masyumi, Beliau total berjuang untuk NU. Tahun 1955 Mbah Bisri menjadi anggota konstituante, wakil dari Partai NU. Setelah tahun 1959 terbit Dekrit Presiden yang membubarkan Dewan Konstituante dan dibentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat, Mbah Bisri masuk di dalamnya. Mbah Bisri juga dikenal sebagai seorang orator handal, Singa podium.
Dalam setiap kampanye beliau selalu menjadi juru kampanye andalan dari partainya. Menurut KH Syaifudin Zuhri, teman seperjuangan di NU, yang mantan Menteri Agama, Mbah Bisri merupakan sosok yang cukup pandai berpidato, dengan mengutarakan hal-hal yang sebenarnya sulit, menjadi gamblang dan mudah diterima oleh orang desa maupun kota, sesuatu yang membosankan, menjadi mengasyikkan, kritik-kritiknya tajam, meluncur begitu saja dengan lancar dan menyegarkan. Pihak yang terkena kritik tidak marah karena disampaikan dengan sopan dan menyenangkan. Selain itu, beliau mampu menghibur dengan humor-humornya yang membuat semua orang tertawa terpingkal-pingkal.
Di samping politisi gigih dan singa podium, Mbah Bisri juga dikenal sebagai seorang pelobi dan negosiator yang sangat handal. Pergulatan di dunia politik tetap dijalani Mbah Bisri hingga era pemerintahan orde baru. Ketika semua partai Islam (termasuk NU) harus berfusi ke Partai persatuan Pembangunan (PPP), Mbah Bisri terlibat aktif membesarkan PPP. Beliau menjadi tokoh yang disegani di partai tersebut. Menjelang masa kampanye Pemilu 1977,yang kurang seminggu lagi, tepatnya hari Rabu, 17 Februari 1977 (27 Shafar 1397 H), waktu asar, Mbah Bisri, salah seorang ulama besar umat ini, dipanggil ke haribaan Allah SWT. Mbah Bisri Mustofa wafat di Rumah sakit Dr. Karyadi Semarang karena serangan jantung, tekanan darah tinggi, dan gangguan pada paru-paru.
Saat pemakaman Mbah Bisri, masyarakat Rembang dan umumnya Jawa Tengah bahkan juga, dari berbagai pelosok negeri ini, berdatangan dan bertakziah, untuk memberikan penghormatan kepada almaghfurlah. Ratusan ribu pelayat rela berdesak-desakan,untuk menghadiri upacara pemakaman. Tidak jarang yang berebut untuk dapat mencium pipi almaghfurlah,sebagai tanda cinta dan penghormatan . Umat merasakan betul telah ditinggalkan seorang kiai, ulama, pemimpin, sekaligus bapak.serta Singa Podium yang produktip menulis,Karya karyanya akan abadi. Semoga Allah SWT memberi tempat yang mulia kepada Beliau. Dan umatnya yang ditinggalkan bisa mengambil suri tauladan dan meneruskan semangat juang Beliau. Amin.
Silakan mengutip dengan mencantumkan nama almihrab.com
Kisah Beliau
Penting
Kyai Bisri Mustofa menyebar sejumlah santri utusan untuk menemui kyai-kyai Rembang. Mereka ditugasi mengundang para kyai itu agar hadir di kediaman Kya i Bisri pada waktu yang ditentukan, untuk suatu KEPERLUAN PENTING.
Maka terjadilah, pada waktu yang ditentukan itu para kyai berkumpul di Leteh, Rembang.
"Keperluan penting apa ini, 'Sri?" Mbah Kyai Ma'shum bertanya.
"Nanti lah, 'Yi" jawab Kyai Bisri, "dahar-dahar dulu..."
Santri mengusung nampan nasi dengan sambal terong di tengahnya, menyajikannya di hadapan para kyai.
"Monggo... monggo..." Kyai Bisri mempersilahkan.

Para kyai pun kembul-terong-gosong dengan nikmat sekali, diselingi obrolan-obrolan ringan dan guyon-guyon nostalgia mengenang waktu masih mondok. Tanpa terasa, nampan licin tandas dan semua merasa kenyang.
Dihiasi kepulan asap rokok yang berlenggak-lenggok, para kyai meneruskan obrolan dan candaan mereka, ditingkahi gelak-tawa yang gayeng sekali.... hingga akhirnya salah-seorang kembali teringat,
"Lho... ini keperluan pentingnya kok nggak mulai-mulai?"
"Iya, 'Sri", Mbah Ma'shum pun menimpali, "sekarang sudah makan, lekaslah... keperluan pentingnya apa?"
Menyedot rokok dalam-dalam dan menghembuskannya dengan nikmat, Kyai Bisri menjawab,
"Kumpul-kumpul silaturrahim begini ini masa tidak penting?



sumber.aswajanu.com

Kamis, 04 Juli 2013

Ya hadi Sir Ruwaida



يَا حَا دِى سِر رُوَيدًا    وَانشُد اَمَامَ الرَّكبِ

فِى رَكبِ لِى عُرَيبٌ     اَخَذُوا مَعَهُم قَلبِى

مَن لِى اِذَا اَخَذُوا لِى قَلبِى

سَتَتُو نِى فِى البَوَادِى     اَخَذُوا مِنِّى فُؤَادِى

مَن لِى اِذَا اَخَذُوا لِى قَلبِى

فَنحُ يَا حُوَيدَ العِيسِ     وَاَنزِل طَيبَةً بِالتَّقـدِ يسِ

تُحظَى المُنَى بِنَيلِ القُر بِ

رِفقًا رِفقًا بِى يَاحَا دِى     رِفقًا رِفقًا بِفُؤَا دِى

مَن لِى اِذَا اَخَذُوا لِى قَلبِى

وَتَاَ دَّب فِى حِمَا هُم     لاَوَلاَتَعشَق سِوَا هُم

فَهُمُ نِعمَ الشِّفَا لقَلبِى

يَااِلهِى يَا مُجِيبُ     فَبِطَيبَةَ لِى حَبِيبُ

اَرجُويَشفَعُ لِى مِن ذَ نبِى

اَرجُويَشفَعُ لِى مِن ذَ نبِى



sumber : syauqiemarier.wordpress.com

Minggu, 23 Juni 2013

‘Ibadallah Rijalallah



عِبــَادَ اللهِ رِجَــالَ اللهِ
‘Ibadallah Rijalallah

عِبــَادَ اللهِ رِجَــالَ اللهِ أَغِيْثُـنَـا لِأَجْـلِ اللهِ ……. لِأَجْـلِ اللهِ
Ibadallah Rijalallah Aghitsuna li ajlillah .…Li Ajlillah
Wahai Hamba hamba ALlah, Wahai wali wali Allah. Tolonglah kami karena Allah
وَكُـونُـواأَوْلَـنــــَا لِلّهِ عَـسـَى نَخْـــطَى بِـفَضْـــــلِ للهِ
Wakuunu Aulaana Lillaah Asaa Nakhtoo Bifadhlillah
Bantulah kami karena Allah, Semoga tercapai hajat kami karena anugerah Allah
عل الكافى صلاة اللة
على الشا فى سلام اللة
‘Alal kafi shalatullah…Ala safi salamullah…
SEmoga rohmat Allah atas nabinya yg penurut, semoga salam Allah atas Nabinya yang penurut, semoga salam Allah atas nabinya yang menyembuhkan penyakit.
بمحى الدىن خلصنا
من البلواء ىا اللة
Bimuhyidil lihaulishna…minal balwaa iya Allah…
Ya Allah dengan perantara syeh Abdul Qodir Al Jilani ra. selamatkanlah dari segala bala'
وَيَـاأَقْـــطَابُ وَيـَاأ نْجَـــاب وَيَـاسَادَ اتُ وَيَـاأَحْبَــابُ يـَاأَحْبَــابُ
Wa Yaa Aqthoob Wa Yaa Anjab Wa yaa Saadat Wayaa Ahbab … Waya Ahbaab
Wahai Para wali kutub, wahai para wali yang dermawan,wahai para sayyid dan habaib (keturunan Rosulullah saw.)
وَأَنْــتُمْ يـــَاأُلِى اْلأَ لْبَـــــاب تَـعَـالَـوْوَانـْصُـــرُوْا لِلّهِ
Wa Antum Yaa ulil Albab Ta’aa Lau Wan surru Lillah
wahai para wali yang memiliki akal sempurna, Engkau adalah penolong, penyantun, datanglah kemari, tolonglah karena Allah
سَـــأَ لْنَــــاكُــمْ سَـأَلْنَـــاُكْــم وَلِلـزُّلــْفَ رَجَوْنَكُـمْ ……….. رَجَوْنَكُـمْ
Sa-alnakum sa-alnakum Wali Zulfaa Rojaunakum…..Rojaunakum
DEngan perantaraan engkau kami memohon, dengan perantaraan engkau kami memohon dengan mengharapkan do'amu kami dekat dengan Allah.
وَفِيْ أَمْـرٍقَـصَــدْ نَـاكُــمْ فَـشـُــدُّوْا عَـزْمـَــكُــمْ لِلّهِ
Wa Fii Amrin Qoshadnaakum Faa Syudduuu “azmakum Lillah
Dengan Maksudperantaraan Engkau, untuk tercapai urusan kami, karenanya kokohkanlah tujuan kami karena Allah.
فَـيَـــارَبِّيْ بِسَــادَاتِ تَحَـقَّـــقْــلِيْ إِشَــــارَتِي……….. إِشَــــارَتِ
Faa Yaa Robbii Bi Saadaati Tahaqqoqliii Isyaarotii ……Isyarotii
Wahai tuhan kami, dengan perantaraan tuan tuan yang menjadi wali, kokohkanlah petunjukMu kepada kami.
عَـسىَ تَـأْ تِيْ بِشَـــــــارَةِ وَيَــصْـــفُ وَقْـــتُـــــنَا لِلّهِ
‘Asaa Ta’tii Bi Syaarooti Wa Yashfu Waqtuna Lillah
Semoga lekas datang kebahagiaan kami, semoga waktu kami bersih untuk beribadah karena Allah
بِكَشْفِ الْحَجْبِ عَنْ عَـيْـنِ وَرَفْــــعِ اْلبَــْيــنِ مِنْ بَـــيْنٍ ….. مِنْ بـَــيْنٍ
Bi Kasyfil Hajbi “an ‘aini Wa Rof’il Baini Mim Bainin ..….Mimbainin
Dengan terbukanya tirai penutup dari mata kami dan hilangkan penghalang antara kami dan Allah.
وَطَـمْـسِى اْلكَيْــفِ وَاْلعَيـْنِ بِـنُـوْرِالْـوَجْــهِ يـَا اَللهُ
Wa Thomsil Kaifa Wal Aini Binuuril Wajhi Yaa Allah
Dan terhapusnya keraguan, bagaimana Allah dan dimana Allah dengan cahaya Dzat Engkau Ya Allah.
صَــلَاةُ اللهِ مَـوْلَـنَـــــا عَلىَ مَنْ بـِالهُـدَى جَنَــا….بـِالهُـدَى جَنَــا
Sholatullahi Maulanaa “alaa Mambil Hudajaana …….Hudajanna
Wahai tuhan kami, semoga kesejahteraan Allah dilimpahkan kepada orang yang datang dengan membawa petunjuk kepada kami.
وَمَنْ بِاْلحَـــقِّ أَوْلَـنــَـــا شَـفِـيْـــــعِ اْلخـَـلْــقِ عِنْـــدَ الله
Wa Man Bil Haqqi Aulaana Syafii-‘il Kholqi ‘Indaullah
Yaitu nabi Muhammad, yang memberikan islam sebagai agma kami, dan memberi syafaat kepada para makhluk disisi Allah.

sumber: gemasholawat.com

Kamis, 17 Januari 2013

As-Sayyid Muhammad Hisyam Kabbani

Syekh Muhammad Hisyam Kabbani


Syekh Muhammad Hisyam Kabbani adalah seorang ulama dan syekh Sufi dari Timur Tengah. Ia adalah lulusan American University di Beirut di bidang Kimia dan dari sana ia mengambil gelar Kedokteran di Louvain, Belgia. Ia juga meraih gelar di bidang Syariah dari Damaskus. Sejak masa kanak-kanak, ia menemani Syekh ‘Abdullah ad-Daghestani dan Syekh Muhammad Nazim al-Haqqani, grandsyekh dari Tarekat Naqsybandi ‘Aliyyah di masa ini. Ia telah banyak melakukan perjalanan ke seluruh Timur Tengah, Eropa, dan Timur Jauh dalam menemani syekhnya.

Pada tahun 1991 ia pindah ke Amerika dan kemudian mendirikan yayasan Tarekat Sufi Naqsybandi-Haqqani di Amerika.

Sejak saat itu, ia telah membuka tiga belas Pusat Sufi di Kanada dan Amerika Serikat. Ia telah memberi kuliah di banyak universitas, termasuk Oxford, University of California di Berkeley, University of Chicago, Columbia University, Howard, McGill, Concordia, Dawson College, begitu pula di banyak pusat religius dan spiritual di seluruh Amerika Utara, Eropa, Timur Jauh dan Timur Tengah.

Ke mana pun Syekh Hisyam Kabbani pergi, kegiatannya adalah menyebarkan ajaran Sufi dalam lingkup persaudaraan antar umat manusia dan kesatuan dalam kepercayaan terhadap Tuhan yang terdapat dalam semua agama dan jalur spiritual. Usahanya diarahkan untuk membawa spektrum keagamaan dan jalur-jalur spiritual yang beragam ke dalam keharmonisan dan kerukunan, dalam rangka pengenalan akan kewajiban manusia sebagai khalifah di planet yang rentan ini dan satu sama lainnya.

Sebagai seorang syekh Sufi, Syekh Hisyam, telah diberi otoritas dan izin untuk membimbing para pengikutnya menuju Kecintaan terhadap Tuhan dan menuju maqam-maqam yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta bagi mereka. Pelatihan spiritualnya yang berat selama 40 tahun di bawah bimbingan grandsyekh dan syekhnya telah memberinya kualitas luhur mencakup kebijaksanaan, cahaya, kecerdasan, dan kasih sayang yang diperlukan bagi seorang Guru sejati dalam Tarekat.

Pencapaian misi Syekh Hisyam di Amerika adalah kontribusinya yang unik bagi Upaya Manusia dalam mencapai takdir tertingginya, yaitu kedekatan dengan Tuhan. Perjuangannya untuk menyatukan hati umat manusia dalam perjalanan mereka menuju Hadirat Ilahi barangkali merupakan warisan terbesarnya bagi dunia Barat.

Syekh Hisham q.s. adalah keturunan Rasulullah saw. baik dari jalur
Ayah dan Ibunya (al-Hasani al-Husayni). Dari istrinya, Hj. Nazihe Adil
yang merupakan putri Syekh Nazim al-Haqqani q.s., beliau dikaruniai 3
putra dan 1 putri, serta beberapa cucu yang semuanya menetap di
Fenton, Michigan.

Beberapa posisi yang beliau duduki di Amerika saat ini antara lain:
Ketua Islamic Supreme Council of America (ISCA), penasihat dalam Unity
One, yaitu sebuah organisasi yang ditujukan untuk perdamaian
antar-gang di Amerika, penasihat dalam Human Rights Council, penasihat
dalam American Islamic Association of Mental Health Providers dan
penasihat dalam Office of Religious Persecution, US Department of
State.

Beberapa tulisannya yang telah dipublikasikan secara internasional
antara lain: Classical Islam and the Naqshbandi Sufi Tradition,
Naqshbandi Sufi Way: the Story of Golden Chain, Angels Unveiled-Sufi
Perspective (edisi Indonesia: Dialog dengan para Malaikat, diterbitkan
Hikmah), Pearls and Coral, Encyclopedia of Islamic Doctrine (7
volume), The Permissibility of Mawlid, “Salafi” Movement Unveiled, dan
The Approach of Armageddon? (edisi Indonesia: Kiamat Mendekat,
diterbitkan Serambi).

Sejak tahun 1997, beliau telah beberapa kali berkunjung ke Indonesia
dan sekarang telah memiliki ribuan murid yang tersebar di pelosok
Jakarta, Sukabumi, Bandung, Pekalongan, Semarang, Tuban, Surabaya,
Batam, Aceh, Padang, Bukittinggi, Bali dan lain-lain, yang semuanya
terwadah dalam suatu keluarga besar Jemaah Tarekat Naqsybandi
al-Haqqaniyah yang dalam keorganisasiannya dikelola Yayasan Haqqani
Indonesia.

Mengenai Yayasan Haqqani Indonesia


Secara kejama`ahan, masyarakat Naqsybandi Haqqani Indonesia secara resmi mulai tergelar kebersamaannya sejak ditunjuknya Bapak KH. Mustafa Mas’ud sebagai perwakilan pertama dari As-Sayyid Maulana Syaikh Muhammad Nazhim Adil al-Haqqani an-Naqsybandi k untuk Indonesia pada tanggal 5 April 1997. Penunjukan dan Bay’at sebagai representatif dilaksanakan melalui As-Sayyid Maulana Syaikh Muhammad Hisyam Kabbani k pada kunjungan perdana beliau di Jakarta pada saat itu. Kedatangan tersebut bermula dari pertemuan beliau dengan beberapa orang Indonesia yang tinggal di California, di mana mereka secara konstan mengikuti ritual Sohbet Naqsybbandi Haqqani di USA, Shalat Jumat, Dzikir Khatam Kwajagan, dan lain sebagainya, di Masjid Mountain View, CA sebagai salah satu Masjid Utama Jama’ah Naqsybandi al-Haqqani Amerika. Pada akhirnya Syaikh Muhammad Hisyam Kabbani k selaku Khalifah Syaikh Nazhim k di USA bertemu dengan para Muslim Indonesia, termasuk seorang mahasiswa bernama M. Hadid Subki yang sedang berada di San Jose, CA. Selanjutnya beliau mengutarakan maksudnya untuk membuka hubungan ke Indonesia atas nama Maulana Syaikh Muhammad Nazhim Adil al-Haqqani an-Naqsybandi k. Persiapan yang dilaksanakan di Jakarta membawa saudara Farid Bubbi Djamirin bertemu dengan K.H. Mustafa Mas’ud. Pada dua kunjungan berikutnya Syaikh Muhammad Hisyam Kabbani k mentasbihkan empat Ulama lainnya sebagai wakil dari Syaikh Muhammad Nazhim Adil al-Haqqani an-Naqsybandi k yang tersebar di Jawa Barat, Jakarta, dan Jawa Tengah.
Mereka adalah :

Kyai Haji Taufiqqurahman al-Subky (Wonopringgo, Pekalongan, Jawa Tengah)

Al-Habib Luthfi bin Yahya (Pekalongan, Jawa Tengah)

Kyai Haji Qari Ahmad Syahid (Nagrek, Jawa Barat)

Al-Ustadz Haji Wahfiudin, MBA (Jakarta)

Sebagai negara yang mempunyai penduduk mayoritas Muslim, tentunya istilah ’thariqat’ sudah tidak asing lagi di Indonesia, terutama bagi pengikutnya dan para cendikiawan yang mempunyai pengetahuan dan perhatian khusus mengenai hal ini.Meskipun kegiatan sudah berjalan sejak tahun 1997, secara hukum Yayasan Haqqani Indonesia baru diresmikan pada akhir tahun 2000. Para pengurus Haqqani Fondation sebagian adalah jema’ah Thariqat Naqsybandi Haqqani, tanpa tertutup untuk ummat Muslim yang tidak mengikuti thariqat untuk turut berpartisipasi. Yayasan Haqqani Indonesia merupakan cabang Haqqani Foundation yang tersebar di beberapa negara, sehingga pada prinsipnya mempunyai pola dasar keorganisasian yang tidak berbeda dengan Yayasan Haqqani lainnya. Sampai saat ini sudah tersebar beberapa cabang Haqqani Foundation di beberapa negara, misalanya: Italia, Belanda, Jerman, Amerika, Malaysia, Perancis, dan Indonesia. Dalam bentuk kelembagaannya, Yayasan Haqqani diharapkan mampu memiliki peran yang strategis dan berkesinambungan dalam melaksanakan syi’ar Islam kepada sesama ummat penghuni bumi.

Senin, 14 Januari 2013

Tokoh Sufi: Syekh Ibnu Atha'illah, Penulis Kitab Al-Hikam

Nama lengkapnya adalah Syekh Ahmad ibnu Muhammad Ibnu Atha’illah As-Sakandari. Ia lahir di Iskandariah (Mesir) pada 648 H/1250 M, dan meninggal di Kairo pada 1309 M. Julukan Al-Iskandari atau As-Sakandari merujuk kota kelahirannya itu.

Sejak kecil, Ibnu Atha’illah dikenal gemar belajar. Ia menimba ilmu dari beberapa syekh secara bertahap. Gurunya yang paling dekat adalah Abu Al-Abbas Ahmad ibnu Ali Al-Anshari Al-Mursi, murid dari Abu Al-Hasan Al-Syadzili, pendiri tarikat Al-Syadzili. Dalam bidang fiqih ia menganut dan menguasai Mazhab Maliki, sedangkan di bidang tasawuf ia termasuk pengikut sekaligus tokoh tarikat Al-Syadzili.

Ibnu Atha'illah tergolong ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya yang pernah dihasilkannya. Meliputi bidang tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu, dan ushul fiqh. Dari beberapa karyanya itu yang paling terkenal adalah kitab Al-Hikam. Buku ini disebut-sebut sebagai magnum opusnya. Kitab itu sudah beberapa kali disyarah. Antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim ibnu Ibad Ar-Rasyid-Rundi, Syaikh Ahmad Zarruq, dan Ahmad ibnu Ajiba.

Beberapa kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath Al-Tadbir, Unwan At-Taufiq fi’dab Al-Thariq, Miftah Al-Falah dan Al-Qaul Al-Mujarrad fil Al-Ism Al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap Syekhul Islam ibnu Taimiyyah mengenai persoalan tauhid.

Kedua ulama besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan kabarnya beberapa kali terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat santun. Ibnu Taimiyyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai praktek sufisme. Sementara Ibnu Atha'illah dan para pengikutnya melihat tidak semua jalan sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam urusan syari’at.

Ibnu Atha'illah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih. Ia menjadi panutan bagi banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan. Menjadi teladan bagi orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru nasihat.

Ia dikenal sebagai master atau syekh ketiga dalam lingkungan tarikat Syadzili setelah pendirinya Abu Al-Hasan Asy-Syadzili dan penerusnya, Abu Al-Abbas Al-Mursi. Dan Ibnu Atha'illah inilah yang pertama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga khazanah tarikat Syadziliyah tetap terpelihara.

Meski ia tokoh kunci di sebuah tarikat, bukan berarti aktifitas dan pengaruh intelektualismenya hanya terbatas di tarikat saja. Buku-buku Ibnu Atha'illah dibaca luas oleh kaum muslimin dari berbagai kelompok, bersifat lintas mazhab dan tarikat, terutama kitab Al-Hikam.

Kitab Al-Hikam ini merupakan karya utama Ibnu Atha’illah, yang sangat populer di dunia Islam selama berabad-abad, sampai hari ini. Kitab ini juga menjadi bacaan utama di hampir seluruh pesantren di Nusantara.

Syekh Ibnu Atha’illah menghadirkan Kitab Al-Hikam dengan sandaran utama pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Guru besar spiritualisme ini menyalakan pelita untuk menjadi penerang bagi setiap salik, menunjukkan segala aral yang ada di setiap kelokan jalan, agar kita semua selamat menempuhnya.

Kitab Al-Hikam merupakan ciri khas pemikiran Ibnu Atha’illah, khususnya dalam paradigma tasawuf. Di antara para tokoh sufi yang lain seperti Al-Hallaj, Ibnul Arabi, Abu Husen An-Nuri, dan para tokoh sufisme falsafi yang lainnya, kedudukan pemikiran Ibnu Atha’illah bukan sekedar bercorak tasawuf falsafi yang mengedepankan teologi. Tetapi diimbangi dengan unsur-unsur pengamalan ibadah dan suluk, artinya di antara syari’at, tarikat dan hakikat ditempuh  dengan cara metodis. Corak Pemikiran Ibnu Atha’illah dalam bidang tasawuf sangat berbeda dengan para tokoh sufi lainnya. Ia lebih menekankan nilai tasawuf  pada ma’rifat.

Adapun pemikiran-pemikiran tarikat tersebut adalah: Pertama, tidak dianjurkan kepada para muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan,  dan kendaraan yang layak dalam kehidupan yang sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah dan mengenal rahmat Illahi. 

"Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur. Dan berlebih-lebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada kezaliman. Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah SWT dengan sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya," kata Ibnu Atha'illah.

Kedua, tidak mengabaikan penerapan syari’at Islam. Ia adalah salah satu tokoh sufi yang menempuh jalur tasawuf hampir searah dengan Al-Ghazali, yakni suatu tasawuf yang berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Mengarah kepada asketisme, pelurusan dan penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs), serta pembinaan moral (akhlak), suatu nilai tasawuf yang dikenal cukup moderat.

Ketiga,  zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati selain daripada Tuhan. Dunia yang dibenci para sufi adalah dunia yang melengahkan dan memperbudak manusia. Kesenangan dunia adalah tingkah laku syahwat, berbagai keinginan yang tak kunjung habis, dan hawa nafsu yang tak kenal puas. "Semua itu hanyalah permainan (al-la’b) dan senda gurau (al-lahwu) yang akan melupakan Allah. Dunia semacam inilah yang dibenci kaum sufi," ujarnya.

Keempat,  tidak ada halangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimiliknya. Seorang salik boleh mencari harta kekayaan, namun jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan sampai menjadi hamba dunia. Seorang salik, kata Atha'illah, tidak bersedih ketika kehilangan harta benda dan tidak dimabuk kesenangan ketika mendapatkan harta.

Kelima, berusaha merespons apa yang sedang mengancam kehidupan umat, berusaha menjembatani antara kekeringan spiritual yang dialami orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik.

Keenam, tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah. Bagi Syekh Atha'illah, tasawuf memiliki empat aspek penting yakni berakhlak dengan akhlak Allah SWT, senantiasa melakukan perintah-Nya, dapat menguasai hawa nafsunya serta berupaya selalu bersama dan berkekalan dengan-Nya secara sunguh-sungguh.

Ketujuh, dalam kaitannya dengan ma’rifat Al-Syadzili, ia berpendapat bahwa ma’rifat adalah salah satu tujuan dari tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan; mawahib, yaitu Tuhan memberikannya tanpa usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberi anugerah tersebut; dan makasib, yaitu ma’rifat akan dapat diperoleh melalui usaha keras seseorang, melalui ar-riyadhah, dzikir, wudhu, puasa ,sahalat sunnah dan amal shalih lainnya.

Kamis, 10 Januari 2013

Prof Dr HM Quraish Shihab : Islam Mensyaratkan Demokrasi


Di tengah masyarakat ada anggapan, Islam jauh dari demokrasi. Karenanya, Islam sering dibenturkan dengan demokrasi. Padahal, sesungguhnya Islam bukan hanya mendukung demokrasi tapi justru mensyaratkan demokrasi. ”Islam jelas bukan hanya mendukung, dia mensyaratkan.

Kalau mendukung, ini seakan-akan datang dari luar yang didukung. Sebenarnya, demokrasi yang diajarkan Islam justru lebih dulu, lebih jelas dari pada demokrasi yang berasal dari Barat (Yunani),” tandas pakar tafsir Prof Dr HM Quraish Shihabkepada dari Republika Rabu (23/1) malam.

Berikut ini, hasil wawancara lengkap dengan direktur Pusat Studi Alquran (PSQ) yang juga mantan Menteri Agama RI, mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan mantan Dubes RI di Mesir ini:

Apa pandangan Anda terhadap demokrasi menurut Islam?

Ada tidak buku Detik-Detik yang Menentukan karya BJ Habibie. Di situ saya tulis menyangkut demokrasi dalam pandangan Islam. Sebenarnya bisa diambil banyak dari situ.

Apakah Islam sebenarnya mendukung demokrasi atau tidak?

Islam jelas bukan hanya mendukung, dia mensyaratkan. Kalau mendukung, ini seakan-akan datang dari luar yang didukung. Sebenarnya demokrasi yang diajarkan Islam justru lebih dulu, lebih jelas dari pada demokrasi yang berasal dari Barat (Yunani Kuno. Ada saya terangkan di dalam buku Detik-Detik yang Menentukan. Islam bukan hanya mendukung, tapi bisa menjadikan prinsif ajaran dalam kehidupan bermasyarakat. Apa yang kita kenal pilar dalam Islam dengan syura atau dipadankan dengan demokrasi.

Artinya, tidak benar kalau orang selalu bicara demokrasi dari Barat dan Islam tidak ada demokrasi?

Tidak benar dari Barat. Karena apa? Istilah demokrasi itu dikenal di Barat dari bahasa Yunani. Tapi sebenarnya dalam Islam yang dinamakan syura adalah pada mulanya berarti mengeluarkan madu dari sarangnya. Jadi, orang-orang demokrasi itu dipersamakan dengan lebah yang menghasilkan madu. Lebah punya keistimewaan, dia tidak makan kecuali yang baik. Dia tidak mengganggu, kalau pun dia menyengat, sengatannya obat. Hasilnya selalu baik, bermanfaat. Itulah yang dicari. Kemudian dari syura lahirlah mencari pendapat yang baik seperti baiknya madu. Di mana pun madu ditemukan, itu kita ambil. Baik dari yang mendengar pendapat maupun yang menyampaikan pendapat.

Nah, tapi kenapa kenyataannya banyak orang yang sering menjadi korban dari demokrasi?

Ini kesalahfahaman. Orang tidak memahami padahal sebenarnya tidak seperti itu. Nabi Muhammad SAW sering kali menerima pendapat yang pada mulanya beliau tidak setuju.

Contoh riilnya bagaimana?

Peperangan Uhud misalnya. Waktu Perang Uhud Nabi Muhammad SAW cenderung berpendapat kita tidak keluar dari kota Madinah, tetapi kita sambut musuh di dalam kota Madinah karena kita tahu seluk beluk kota Madinah. Tetapi mayoritas sahabat-sahabat nabi, terutama yang muda-muda dengan semangat muda tetap berkata tidak. Mereka ingin keluar menyambut musuh. Nabi Muhammad SAW kurang setuju tetapi beliau mengikuti pendapat mayoritas.

Nah, itu syura. Beliau setiap akan melakukan suatu kegiatan yang penting yang berkaitan dengan masyarakat beliau bertanya kepada sahabat-sahabatnya bagaimana pendapat mereka? Waktu Perang Badar beliau memilih satu lokasi yang oleh sahabatnya yang lain lokasi ini kurang tepat. Maka beliau bertanya di mana lokasi yang lebih baik? Yang ditunjukkan sahabat itulah yang beliau pilih. Itu sebenarnya terbina dari demokrasi.

Artinya Rasulullah SAW bukan diktator, mau menang sendiri?

Ya. Beliau tidak mau menang sendiri. Itu dalam bidang-bidang yang bisa dimusyawarahkan. Dalam Islam ada hal yang tidak bisa dimusyawarahkan. Misalnya, persoalan ibadah harus diterima sebagaimana adanya. Itu bukan wilayah musyawarah. Kita tidak bisa bermusyawarah berkaitan dengan jumlah rakaat shalat. Kita harus terima begitu apa adanya. Dalam bahasa kita ‘Sudah dari sananya’. Tetapi dalam soal kemasyarakatan, maka itu dimusyawarahkan.

Termasuk juga penentuan khilafah misalnya? Dari Rasulullah SAW ke Abu Bakar, ke Umar bin Khattab dan seterusnya?

Itu jelas sekali musyawarahnya di situ. Waktu Abu Bakar diangkat, ada musyawarah kemudian beliau disetujui lalu dibai’at. Waktu Umar bin Khattab ada musyawarah cuma musyawarahnya terbatas, ada tim. Waktu Utsman bin Affan begitu juga. Bentuk demokrsi bisa bermacam-macam sesuai dengan kondisi setiap masyarakat. Jadi tidak ada yang baku. Yang penting, bahwa itu dimusyawarahkan dengan orang-orang tertentu atau oleh masyarakat umum atau oleh perwakilan yang penting mencerminkan kehendak mayoritas.

Barangkali kenapa kemudian Islam disorot tidak demokratis karena yang muncul adalah dinasti-dinasti seperti yang terjadi sekarang ini?

Kita harus bedakan antara ajaran Islam dan sejarah Islam. Belum tentu apa yang dipraktekkan oleh penguasa-penguasa dan dinasti-dinasti Islam merupakan ajaran Islam yang murni. Kita harus bedakan antara Islam ajaran dan Islam politik. Soal kerajaan turun temurun itu, ada yang berkata itu bukan demokrasi tapi terserah kepada masing-masing masyarakat. Kalau mereka menyetujui itu, ya itu sudah salah satu bentuk demokrasi. Di Inggris juga kerajaan dan itu disetujui oleh masyarakat Inggris. Jadi, tidak otomatis kerajaan itu lantas dikatakan bertentangan dengan demokrasi sebagaimana tidak juga otomatis pemerintahan yang republik, itu otomatis demokrasi. Karena boleh jadi dalam prakteknya tidak seperti itu.

Jadi substansi dari demokrasi adalah syura yakni memilih yang terbaik?

Bisa kita katakan dengan sedikit perbedaan karena di demokrasi itu ada yang kita katakan kembali kepada rakyat. Dalam syura ada nilai-nilai yang tidak boleh dilanggar, nilai-nilai itu adalah nilai-nilai ditetapkan Tuhan.

Kalau gitu persamaannya di mana?

Persamaannya, persoalan-persoalan masyarakat itu dikembalikan kepada kehendak masyarakat. Kehendak masyarakat itu bisa diketahui dengan bertanya kepada orang demi orang, bisa melalui perwakilan. Kita di Indonesia kan melalui perwakilan. Demokrasi yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Jadi, bentuk demokrasi disesuaikan oleh masyarakat di mana demokrasi itu akan diterapkan. Disesuaikan syura itu dengan konteks masyarakat di mana syura itu diterapkan.


 Dan Islam memiliki peran yang sangat besar dalam mengembangkan demokrasi?

Ya, jelas. Karena itu dalam Alquran ada pujian tentang orang-orang yang bermusyarawah bahwa persoalan mereka itu selalu mereka selesaikan dengan musyawarah. Bahkan musyawarah itu diperintahkan dalam unit masyarakat yang terkecil yakni keluarga. Demokrasi itu bukan hanya ada pada level pemerintahan atau level negara, tetapi musyawarah atau berdemokrasi yang diajarkan adalah dalam level yang terrendah-rendahnya yaitu dalam keluarga. Damanhuri Zuhri/dokrep/Januari 2008

Sumber : Republika [mirror]