Kamis, 17 Januari 2013

As-Sayyid Muhammad Hisyam Kabbani

Syekh Muhammad Hisyam Kabbani


Syekh Muhammad Hisyam Kabbani adalah seorang ulama dan syekh Sufi dari Timur Tengah. Ia adalah lulusan American University di Beirut di bidang Kimia dan dari sana ia mengambil gelar Kedokteran di Louvain, Belgia. Ia juga meraih gelar di bidang Syariah dari Damaskus. Sejak masa kanak-kanak, ia menemani Syekh ‘Abdullah ad-Daghestani dan Syekh Muhammad Nazim al-Haqqani, grandsyekh dari Tarekat Naqsybandi ‘Aliyyah di masa ini. Ia telah banyak melakukan perjalanan ke seluruh Timur Tengah, Eropa, dan Timur Jauh dalam menemani syekhnya.

Pada tahun 1991 ia pindah ke Amerika dan kemudian mendirikan yayasan Tarekat Sufi Naqsybandi-Haqqani di Amerika.

Sejak saat itu, ia telah membuka tiga belas Pusat Sufi di Kanada dan Amerika Serikat. Ia telah memberi kuliah di banyak universitas, termasuk Oxford, University of California di Berkeley, University of Chicago, Columbia University, Howard, McGill, Concordia, Dawson College, begitu pula di banyak pusat religius dan spiritual di seluruh Amerika Utara, Eropa, Timur Jauh dan Timur Tengah.

Ke mana pun Syekh Hisyam Kabbani pergi, kegiatannya adalah menyebarkan ajaran Sufi dalam lingkup persaudaraan antar umat manusia dan kesatuan dalam kepercayaan terhadap Tuhan yang terdapat dalam semua agama dan jalur spiritual. Usahanya diarahkan untuk membawa spektrum keagamaan dan jalur-jalur spiritual yang beragam ke dalam keharmonisan dan kerukunan, dalam rangka pengenalan akan kewajiban manusia sebagai khalifah di planet yang rentan ini dan satu sama lainnya.

Sebagai seorang syekh Sufi, Syekh Hisyam, telah diberi otoritas dan izin untuk membimbing para pengikutnya menuju Kecintaan terhadap Tuhan dan menuju maqam-maqam yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta bagi mereka. Pelatihan spiritualnya yang berat selama 40 tahun di bawah bimbingan grandsyekh dan syekhnya telah memberinya kualitas luhur mencakup kebijaksanaan, cahaya, kecerdasan, dan kasih sayang yang diperlukan bagi seorang Guru sejati dalam Tarekat.

Pencapaian misi Syekh Hisyam di Amerika adalah kontribusinya yang unik bagi Upaya Manusia dalam mencapai takdir tertingginya, yaitu kedekatan dengan Tuhan. Perjuangannya untuk menyatukan hati umat manusia dalam perjalanan mereka menuju Hadirat Ilahi barangkali merupakan warisan terbesarnya bagi dunia Barat.

Syekh Hisham q.s. adalah keturunan Rasulullah saw. baik dari jalur
Ayah dan Ibunya (al-Hasani al-Husayni). Dari istrinya, Hj. Nazihe Adil
yang merupakan putri Syekh Nazim al-Haqqani q.s., beliau dikaruniai 3
putra dan 1 putri, serta beberapa cucu yang semuanya menetap di
Fenton, Michigan.

Beberapa posisi yang beliau duduki di Amerika saat ini antara lain:
Ketua Islamic Supreme Council of America (ISCA), penasihat dalam Unity
One, yaitu sebuah organisasi yang ditujukan untuk perdamaian
antar-gang di Amerika, penasihat dalam Human Rights Council, penasihat
dalam American Islamic Association of Mental Health Providers dan
penasihat dalam Office of Religious Persecution, US Department of
State.

Beberapa tulisannya yang telah dipublikasikan secara internasional
antara lain: Classical Islam and the Naqshbandi Sufi Tradition,
Naqshbandi Sufi Way: the Story of Golden Chain, Angels Unveiled-Sufi
Perspective (edisi Indonesia: Dialog dengan para Malaikat, diterbitkan
Hikmah), Pearls and Coral, Encyclopedia of Islamic Doctrine (7
volume), The Permissibility of Mawlid, “Salafi” Movement Unveiled, dan
The Approach of Armageddon? (edisi Indonesia: Kiamat Mendekat,
diterbitkan Serambi).

Sejak tahun 1997, beliau telah beberapa kali berkunjung ke Indonesia
dan sekarang telah memiliki ribuan murid yang tersebar di pelosok
Jakarta, Sukabumi, Bandung, Pekalongan, Semarang, Tuban, Surabaya,
Batam, Aceh, Padang, Bukittinggi, Bali dan lain-lain, yang semuanya
terwadah dalam suatu keluarga besar Jemaah Tarekat Naqsybandi
al-Haqqaniyah yang dalam keorganisasiannya dikelola Yayasan Haqqani
Indonesia.

Mengenai Yayasan Haqqani Indonesia


Secara kejama`ahan, masyarakat Naqsybandi Haqqani Indonesia secara resmi mulai tergelar kebersamaannya sejak ditunjuknya Bapak KH. Mustafa Mas’ud sebagai perwakilan pertama dari As-Sayyid Maulana Syaikh Muhammad Nazhim Adil al-Haqqani an-Naqsybandi k untuk Indonesia pada tanggal 5 April 1997. Penunjukan dan Bay’at sebagai representatif dilaksanakan melalui As-Sayyid Maulana Syaikh Muhammad Hisyam Kabbani k pada kunjungan perdana beliau di Jakarta pada saat itu. Kedatangan tersebut bermula dari pertemuan beliau dengan beberapa orang Indonesia yang tinggal di California, di mana mereka secara konstan mengikuti ritual Sohbet Naqsybbandi Haqqani di USA, Shalat Jumat, Dzikir Khatam Kwajagan, dan lain sebagainya, di Masjid Mountain View, CA sebagai salah satu Masjid Utama Jama’ah Naqsybandi al-Haqqani Amerika. Pada akhirnya Syaikh Muhammad Hisyam Kabbani k selaku Khalifah Syaikh Nazhim k di USA bertemu dengan para Muslim Indonesia, termasuk seorang mahasiswa bernama M. Hadid Subki yang sedang berada di San Jose, CA. Selanjutnya beliau mengutarakan maksudnya untuk membuka hubungan ke Indonesia atas nama Maulana Syaikh Muhammad Nazhim Adil al-Haqqani an-Naqsybandi k. Persiapan yang dilaksanakan di Jakarta membawa saudara Farid Bubbi Djamirin bertemu dengan K.H. Mustafa Mas’ud. Pada dua kunjungan berikutnya Syaikh Muhammad Hisyam Kabbani k mentasbihkan empat Ulama lainnya sebagai wakil dari Syaikh Muhammad Nazhim Adil al-Haqqani an-Naqsybandi k yang tersebar di Jawa Barat, Jakarta, dan Jawa Tengah.
Mereka adalah :

Kyai Haji Taufiqqurahman al-Subky (Wonopringgo, Pekalongan, Jawa Tengah)

Al-Habib Luthfi bin Yahya (Pekalongan, Jawa Tengah)

Kyai Haji Qari Ahmad Syahid (Nagrek, Jawa Barat)

Al-Ustadz Haji Wahfiudin, MBA (Jakarta)

Sebagai negara yang mempunyai penduduk mayoritas Muslim, tentunya istilah ’thariqat’ sudah tidak asing lagi di Indonesia, terutama bagi pengikutnya dan para cendikiawan yang mempunyai pengetahuan dan perhatian khusus mengenai hal ini.Meskipun kegiatan sudah berjalan sejak tahun 1997, secara hukum Yayasan Haqqani Indonesia baru diresmikan pada akhir tahun 2000. Para pengurus Haqqani Fondation sebagian adalah jema’ah Thariqat Naqsybandi Haqqani, tanpa tertutup untuk ummat Muslim yang tidak mengikuti thariqat untuk turut berpartisipasi. Yayasan Haqqani Indonesia merupakan cabang Haqqani Foundation yang tersebar di beberapa negara, sehingga pada prinsipnya mempunyai pola dasar keorganisasian yang tidak berbeda dengan Yayasan Haqqani lainnya. Sampai saat ini sudah tersebar beberapa cabang Haqqani Foundation di beberapa negara, misalanya: Italia, Belanda, Jerman, Amerika, Malaysia, Perancis, dan Indonesia. Dalam bentuk kelembagaannya, Yayasan Haqqani diharapkan mampu memiliki peran yang strategis dan berkesinambungan dalam melaksanakan syi’ar Islam kepada sesama ummat penghuni bumi.

Senin, 14 Januari 2013

Tokoh Sufi: Syekh Ibnu Atha'illah, Penulis Kitab Al-Hikam

Nama lengkapnya adalah Syekh Ahmad ibnu Muhammad Ibnu Atha’illah As-Sakandari. Ia lahir di Iskandariah (Mesir) pada 648 H/1250 M, dan meninggal di Kairo pada 1309 M. Julukan Al-Iskandari atau As-Sakandari merujuk kota kelahirannya itu.

Sejak kecil, Ibnu Atha’illah dikenal gemar belajar. Ia menimba ilmu dari beberapa syekh secara bertahap. Gurunya yang paling dekat adalah Abu Al-Abbas Ahmad ibnu Ali Al-Anshari Al-Mursi, murid dari Abu Al-Hasan Al-Syadzili, pendiri tarikat Al-Syadzili. Dalam bidang fiqih ia menganut dan menguasai Mazhab Maliki, sedangkan di bidang tasawuf ia termasuk pengikut sekaligus tokoh tarikat Al-Syadzili.

Ibnu Atha'illah tergolong ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya yang pernah dihasilkannya. Meliputi bidang tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu, dan ushul fiqh. Dari beberapa karyanya itu yang paling terkenal adalah kitab Al-Hikam. Buku ini disebut-sebut sebagai magnum opusnya. Kitab itu sudah beberapa kali disyarah. Antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim ibnu Ibad Ar-Rasyid-Rundi, Syaikh Ahmad Zarruq, dan Ahmad ibnu Ajiba.

Beberapa kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath Al-Tadbir, Unwan At-Taufiq fi’dab Al-Thariq, Miftah Al-Falah dan Al-Qaul Al-Mujarrad fil Al-Ism Al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap Syekhul Islam ibnu Taimiyyah mengenai persoalan tauhid.

Kedua ulama besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan kabarnya beberapa kali terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat santun. Ibnu Taimiyyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai praktek sufisme. Sementara Ibnu Atha'illah dan para pengikutnya melihat tidak semua jalan sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam urusan syari’at.

Ibnu Atha'illah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih. Ia menjadi panutan bagi banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan. Menjadi teladan bagi orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru nasihat.

Ia dikenal sebagai master atau syekh ketiga dalam lingkungan tarikat Syadzili setelah pendirinya Abu Al-Hasan Asy-Syadzili dan penerusnya, Abu Al-Abbas Al-Mursi. Dan Ibnu Atha'illah inilah yang pertama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga khazanah tarikat Syadziliyah tetap terpelihara.

Meski ia tokoh kunci di sebuah tarikat, bukan berarti aktifitas dan pengaruh intelektualismenya hanya terbatas di tarikat saja. Buku-buku Ibnu Atha'illah dibaca luas oleh kaum muslimin dari berbagai kelompok, bersifat lintas mazhab dan tarikat, terutama kitab Al-Hikam.

Kitab Al-Hikam ini merupakan karya utama Ibnu Atha’illah, yang sangat populer di dunia Islam selama berabad-abad, sampai hari ini. Kitab ini juga menjadi bacaan utama di hampir seluruh pesantren di Nusantara.

Syekh Ibnu Atha’illah menghadirkan Kitab Al-Hikam dengan sandaran utama pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Guru besar spiritualisme ini menyalakan pelita untuk menjadi penerang bagi setiap salik, menunjukkan segala aral yang ada di setiap kelokan jalan, agar kita semua selamat menempuhnya.

Kitab Al-Hikam merupakan ciri khas pemikiran Ibnu Atha’illah, khususnya dalam paradigma tasawuf. Di antara para tokoh sufi yang lain seperti Al-Hallaj, Ibnul Arabi, Abu Husen An-Nuri, dan para tokoh sufisme falsafi yang lainnya, kedudukan pemikiran Ibnu Atha’illah bukan sekedar bercorak tasawuf falsafi yang mengedepankan teologi. Tetapi diimbangi dengan unsur-unsur pengamalan ibadah dan suluk, artinya di antara syari’at, tarikat dan hakikat ditempuh  dengan cara metodis. Corak Pemikiran Ibnu Atha’illah dalam bidang tasawuf sangat berbeda dengan para tokoh sufi lainnya. Ia lebih menekankan nilai tasawuf  pada ma’rifat.

Adapun pemikiran-pemikiran tarikat tersebut adalah: Pertama, tidak dianjurkan kepada para muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan,  dan kendaraan yang layak dalam kehidupan yang sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah dan mengenal rahmat Illahi. 

"Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur. Dan berlebih-lebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada kezaliman. Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah SWT dengan sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya," kata Ibnu Atha'illah.

Kedua, tidak mengabaikan penerapan syari’at Islam. Ia adalah salah satu tokoh sufi yang menempuh jalur tasawuf hampir searah dengan Al-Ghazali, yakni suatu tasawuf yang berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Mengarah kepada asketisme, pelurusan dan penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs), serta pembinaan moral (akhlak), suatu nilai tasawuf yang dikenal cukup moderat.

Ketiga,  zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati selain daripada Tuhan. Dunia yang dibenci para sufi adalah dunia yang melengahkan dan memperbudak manusia. Kesenangan dunia adalah tingkah laku syahwat, berbagai keinginan yang tak kunjung habis, dan hawa nafsu yang tak kenal puas. "Semua itu hanyalah permainan (al-la’b) dan senda gurau (al-lahwu) yang akan melupakan Allah. Dunia semacam inilah yang dibenci kaum sufi," ujarnya.

Keempat,  tidak ada halangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimiliknya. Seorang salik boleh mencari harta kekayaan, namun jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan sampai menjadi hamba dunia. Seorang salik, kata Atha'illah, tidak bersedih ketika kehilangan harta benda dan tidak dimabuk kesenangan ketika mendapatkan harta.

Kelima, berusaha merespons apa yang sedang mengancam kehidupan umat, berusaha menjembatani antara kekeringan spiritual yang dialami orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik.

Keenam, tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah. Bagi Syekh Atha'illah, tasawuf memiliki empat aspek penting yakni berakhlak dengan akhlak Allah SWT, senantiasa melakukan perintah-Nya, dapat menguasai hawa nafsunya serta berupaya selalu bersama dan berkekalan dengan-Nya secara sunguh-sungguh.

Ketujuh, dalam kaitannya dengan ma’rifat Al-Syadzili, ia berpendapat bahwa ma’rifat adalah salah satu tujuan dari tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan; mawahib, yaitu Tuhan memberikannya tanpa usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberi anugerah tersebut; dan makasib, yaitu ma’rifat akan dapat diperoleh melalui usaha keras seseorang, melalui ar-riyadhah, dzikir, wudhu, puasa ,sahalat sunnah dan amal shalih lainnya.

Kamis, 10 Januari 2013

Prof Dr HM Quraish Shihab : Islam Mensyaratkan Demokrasi


Di tengah masyarakat ada anggapan, Islam jauh dari demokrasi. Karenanya, Islam sering dibenturkan dengan demokrasi. Padahal, sesungguhnya Islam bukan hanya mendukung demokrasi tapi justru mensyaratkan demokrasi. ”Islam jelas bukan hanya mendukung, dia mensyaratkan.

Kalau mendukung, ini seakan-akan datang dari luar yang didukung. Sebenarnya, demokrasi yang diajarkan Islam justru lebih dulu, lebih jelas dari pada demokrasi yang berasal dari Barat (Yunani),” tandas pakar tafsir Prof Dr HM Quraish Shihabkepada dari Republika Rabu (23/1) malam.

Berikut ini, hasil wawancara lengkap dengan direktur Pusat Studi Alquran (PSQ) yang juga mantan Menteri Agama RI, mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan mantan Dubes RI di Mesir ini:

Apa pandangan Anda terhadap demokrasi menurut Islam?

Ada tidak buku Detik-Detik yang Menentukan karya BJ Habibie. Di situ saya tulis menyangkut demokrasi dalam pandangan Islam. Sebenarnya bisa diambil banyak dari situ.

Apakah Islam sebenarnya mendukung demokrasi atau tidak?

Islam jelas bukan hanya mendukung, dia mensyaratkan. Kalau mendukung, ini seakan-akan datang dari luar yang didukung. Sebenarnya demokrasi yang diajarkan Islam justru lebih dulu, lebih jelas dari pada demokrasi yang berasal dari Barat (Yunani Kuno. Ada saya terangkan di dalam buku Detik-Detik yang Menentukan. Islam bukan hanya mendukung, tapi bisa menjadikan prinsif ajaran dalam kehidupan bermasyarakat. Apa yang kita kenal pilar dalam Islam dengan syura atau dipadankan dengan demokrasi.

Artinya, tidak benar kalau orang selalu bicara demokrasi dari Barat dan Islam tidak ada demokrasi?

Tidak benar dari Barat. Karena apa? Istilah demokrasi itu dikenal di Barat dari bahasa Yunani. Tapi sebenarnya dalam Islam yang dinamakan syura adalah pada mulanya berarti mengeluarkan madu dari sarangnya. Jadi, orang-orang demokrasi itu dipersamakan dengan lebah yang menghasilkan madu. Lebah punya keistimewaan, dia tidak makan kecuali yang baik. Dia tidak mengganggu, kalau pun dia menyengat, sengatannya obat. Hasilnya selalu baik, bermanfaat. Itulah yang dicari. Kemudian dari syura lahirlah mencari pendapat yang baik seperti baiknya madu. Di mana pun madu ditemukan, itu kita ambil. Baik dari yang mendengar pendapat maupun yang menyampaikan pendapat.

Nah, tapi kenapa kenyataannya banyak orang yang sering menjadi korban dari demokrasi?

Ini kesalahfahaman. Orang tidak memahami padahal sebenarnya tidak seperti itu. Nabi Muhammad SAW sering kali menerima pendapat yang pada mulanya beliau tidak setuju.

Contoh riilnya bagaimana?

Peperangan Uhud misalnya. Waktu Perang Uhud Nabi Muhammad SAW cenderung berpendapat kita tidak keluar dari kota Madinah, tetapi kita sambut musuh di dalam kota Madinah karena kita tahu seluk beluk kota Madinah. Tetapi mayoritas sahabat-sahabat nabi, terutama yang muda-muda dengan semangat muda tetap berkata tidak. Mereka ingin keluar menyambut musuh. Nabi Muhammad SAW kurang setuju tetapi beliau mengikuti pendapat mayoritas.

Nah, itu syura. Beliau setiap akan melakukan suatu kegiatan yang penting yang berkaitan dengan masyarakat beliau bertanya kepada sahabat-sahabatnya bagaimana pendapat mereka? Waktu Perang Badar beliau memilih satu lokasi yang oleh sahabatnya yang lain lokasi ini kurang tepat. Maka beliau bertanya di mana lokasi yang lebih baik? Yang ditunjukkan sahabat itulah yang beliau pilih. Itu sebenarnya terbina dari demokrasi.

Artinya Rasulullah SAW bukan diktator, mau menang sendiri?

Ya. Beliau tidak mau menang sendiri. Itu dalam bidang-bidang yang bisa dimusyawarahkan. Dalam Islam ada hal yang tidak bisa dimusyawarahkan. Misalnya, persoalan ibadah harus diterima sebagaimana adanya. Itu bukan wilayah musyawarah. Kita tidak bisa bermusyawarah berkaitan dengan jumlah rakaat shalat. Kita harus terima begitu apa adanya. Dalam bahasa kita ‘Sudah dari sananya’. Tetapi dalam soal kemasyarakatan, maka itu dimusyawarahkan.

Termasuk juga penentuan khilafah misalnya? Dari Rasulullah SAW ke Abu Bakar, ke Umar bin Khattab dan seterusnya?

Itu jelas sekali musyawarahnya di situ. Waktu Abu Bakar diangkat, ada musyawarah kemudian beliau disetujui lalu dibai’at. Waktu Umar bin Khattab ada musyawarah cuma musyawarahnya terbatas, ada tim. Waktu Utsman bin Affan begitu juga. Bentuk demokrsi bisa bermacam-macam sesuai dengan kondisi setiap masyarakat. Jadi tidak ada yang baku. Yang penting, bahwa itu dimusyawarahkan dengan orang-orang tertentu atau oleh masyarakat umum atau oleh perwakilan yang penting mencerminkan kehendak mayoritas.

Barangkali kenapa kemudian Islam disorot tidak demokratis karena yang muncul adalah dinasti-dinasti seperti yang terjadi sekarang ini?

Kita harus bedakan antara ajaran Islam dan sejarah Islam. Belum tentu apa yang dipraktekkan oleh penguasa-penguasa dan dinasti-dinasti Islam merupakan ajaran Islam yang murni. Kita harus bedakan antara Islam ajaran dan Islam politik. Soal kerajaan turun temurun itu, ada yang berkata itu bukan demokrasi tapi terserah kepada masing-masing masyarakat. Kalau mereka menyetujui itu, ya itu sudah salah satu bentuk demokrasi. Di Inggris juga kerajaan dan itu disetujui oleh masyarakat Inggris. Jadi, tidak otomatis kerajaan itu lantas dikatakan bertentangan dengan demokrasi sebagaimana tidak juga otomatis pemerintahan yang republik, itu otomatis demokrasi. Karena boleh jadi dalam prakteknya tidak seperti itu.

Jadi substansi dari demokrasi adalah syura yakni memilih yang terbaik?

Bisa kita katakan dengan sedikit perbedaan karena di demokrasi itu ada yang kita katakan kembali kepada rakyat. Dalam syura ada nilai-nilai yang tidak boleh dilanggar, nilai-nilai itu adalah nilai-nilai ditetapkan Tuhan.

Kalau gitu persamaannya di mana?

Persamaannya, persoalan-persoalan masyarakat itu dikembalikan kepada kehendak masyarakat. Kehendak masyarakat itu bisa diketahui dengan bertanya kepada orang demi orang, bisa melalui perwakilan. Kita di Indonesia kan melalui perwakilan. Demokrasi yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Jadi, bentuk demokrasi disesuaikan oleh masyarakat di mana demokrasi itu akan diterapkan. Disesuaikan syura itu dengan konteks masyarakat di mana syura itu diterapkan.


 Dan Islam memiliki peran yang sangat besar dalam mengembangkan demokrasi?

Ya, jelas. Karena itu dalam Alquran ada pujian tentang orang-orang yang bermusyarawah bahwa persoalan mereka itu selalu mereka selesaikan dengan musyawarah. Bahkan musyawarah itu diperintahkan dalam unit masyarakat yang terkecil yakni keluarga. Demokrasi itu bukan hanya ada pada level pemerintahan atau level negara, tetapi musyawarah atau berdemokrasi yang diajarkan adalah dalam level yang terrendah-rendahnya yaitu dalam keluarga. Damanhuri Zuhri/dokrep/Januari 2008

Sumber : Republika [mirror]

Rabu, 09 Januari 2013

Merah Putih Bendera Rosullulloh SAW


Sebagian umat Islam sukar untuk mengerti bahwa bendera Rasulullah saw terdiri dari dua unsur warna Merah Putih. Hal ini terjadi sebagai akibat adanya sistem deislamisasi dalam penulisan Sejarah Indonesia.
1570252Dampaknya dikisahkan Merah Putih bukan warna bendera Rasulullah saw. Penulisan yang demikian itu untuk mendiskreditkan umat Islam. Padahal Sang Saka Merah Putih berasal dari bendera Rasulullah saw yang dikembangkan oleh umat Islam Indonesia, sejak abad ke-7 hingga menjadi milik bangsa dan negara Indonesia. Tentu sukar memahaminya.
Baiklah di sini kita kaji kembali penuturan Imam Muslim dalam Shahihnya Kitab al Fitan, Jilid X, hlm. 340, dari Hamisy Qasthalani yang memperoleh beritanya dari Zubair bin Harb, Ishaq bin Ibrahim, Muhammad bin Mutsanna, Ibnu Basyayar, Mu’adz bin Hisyam, Qatadah , Abu Qalabh, Abu Asma’ Ar Rahabiy, Tsauban bahwa Rasulullah saw bersabda:
Innallaha zawalliyal ardha - Sesungguhnya Allah memperlihatkan dunia kepadaku Masyariqahaa wa magharibahaa. - Aku ditunjukkan pula timur dan baratnya. Wa a’thoniil kanzaini: Dan aku dianugrahi warna yang indah Al Ahmar wal Abyadh Merah Putih.
Tentu umat Islam Indonesia mengenal ajaran Merah Putih tersebut, sejak awal masuknya agama Islam ke nusantara pada abad ke-7M. Sejak itu pula umat Islam akrab sekali dengan warna merah. Tidak tabu terhadap warna merah seperti sekarang ini. Karena Islam juga mengajarkan bahwa istri Nabi dari Nabi Adam as hingga Rasulullah saw disebut merah. Misalnya Siti Hawa ra artinya Merah. Menurut Ismail Haqqi Al Buruswi dalam Tafsir Ruhul Bayan, menjelaskan bahwa Hawa sama dengan Hautun artinya Merah. Dan Siti Aisyah ra sering dipanggil oleh Rasulullah saw dengan Humairoh artinya juga Merah.
Oleh karena itu, para ulama pendahulu di Indonesia, dalam membudayakan dan mengabadikan warna Merah Putih, antara lain melalui enam upacara:
(1) Setiap pembangunan rumah, pada kerangka atap suhunan dikibarkan Merah Putih, Dengan harapan memperoleh syafaat dari Rasulullah saw.
(2) Pada setiap Tahun Baru Islam atauTahun Hijriah diperingati dengan membuat Bubur Merah Putih.
(3) Pada saat pemberian nama anak, juga dengan disertai pembuatan Bubur Merah Putih. Mengapa?
Bubur Merah Putih, saat bayi dilahirkan sebagai lambang darah ibu (QS 96:2). Selama 9 bulan 10 hari dalam rahim, bayi mengonsumsi darah ibu Merah warnanya Setelah lahir masih tetap membutuhkan darah ibu, Asi( air susu ibu), selama 20 bulan 20 hari. Warnanya Putih. Dengan demikian, seorang anak bayi membutuhkan darah ibu yang berwarna Merah dan Putih selama 30 bulan (QS 46: 15).
Apakah terkait dengan pengertian di atas ini pula, maka plafon Ka’bah berwar na Merah, dan Lantai Ka’bah berwarna Putih.
(4) Dalam pengucapan kata pengantar disebutnya dengan lambang Sekapur Sirih dan Seulas Pinang. Kapur dan sirih akan menghasilkan warna merah. Dan pinang yang diiris akan menampakkan warna putih. Jadi kata Sekapur Sirih dan Seulas Pinang bermakna Merah Putih. Di masyarakat Islam Minang akrab dengan warna Merah. Demikian pula busana kebesarannya dan busana penarinya menam pilkan warna Merah atau warna emas.
(5) Di kalangan masyarakat Islam Sunda menyatakan rasa gembira dan syukur, dengan bahasa simbol seperti kagunturan madu -memperoleh madu dan karagragan menyan putih -kejatuhan menyan putih. Madu sebagai lambang merah. Dan menyan putih, jelas simbol warna putih yang harum. Jadi, makna kedua hal tersebut adalah Merah Putih. Dan sebaliknya untuk melambangkan jiwa yang serakah terhadap materi atau uang, maka disebutnya bermata hijau.
(6) Para Walilullah menuliskan Alquran, pada penulisan Allah dan Asma Pengganti-Nya, dengan warna merah di atas lembar kertas yang putih warna nya.
========================================================
Dari Sumber Yang Lain
========================================================
Warna merah dan putih merupakan satu simbolisasi warna yang diinformasikan dalam sejarah Islam. Sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari, Abu Daud, dan Tirmidzi tentang busana perang Rasullah SAW seperti yang dilihat salah seorang sahabat A-Barra r.a. berbunyi : sungguh kusaksikan Rasulullah SAW berbusana hullatun merah warnanya. Dan aku belum pernah melihat busana flasulullah saw yang seindah itu. Hullatunadalah sejenis baju rangkap dua. Selain itu, sarung pedang Panglima Perang kaum Muslimin Khalid binWalid r.a. juga berwarna merah.
Ada sejarah panjang mengenai Merah Putih, warna bendera nasional Indonesia. Ada yang meyakini jika kedua warna tersebut berasal dari warna bendera Rasulullah SAW, namun ada juga yang menyatakan sejarahnya lebih tua lagi. Kedua asumsi tersebut memang benar adanya. Sejak abad pertama masehi, di pesisir utara Jawa Barat terdapat Krajan Salakanagara yang menganut keyakinan lokal sama sekali bukan Hindu atau Budha. Krajan (Kerajaan) yang telah berdiri enam abad sebelum . kedatangan Islam di Jazirah Arab ini diyakini merupakan kerajaan pertama di Nusantara.
Jauh sebelum era Salakanagara, para penduduk di Nusantara dan juga pulau-pulau di sekitarnya yang berasal dari orang-orang Austronesia, yang datang sekitar 6.000 tahun silam, dipercaya telah memiliki kepercayaan religi terhadap alam semesta. Salah satu ritualnya adalah penghormatan terhadap Matahari dan Bulan. Dalam bahasa sanskrit yang merupakan salah satu bahasa tertua di kepulauan ini, Matahari (Atlittga) dilambangkan dengan warna merah, sedangkan Bulan (Chandra) dilambangkan berwarna putih. Keyakinan ini dipegang oleh orang-orang yang berdiam di Kepulauan Austronesia yang berada di Samudera Hindia dan juga Pasific.
Orang-orang Austronesia kemudian berasimilasi dengan para pendatang baru yang datang dari utara, Asia Tenggara, sekira 2.000 tahun setelahnya. Keturunan merekalah yang kini menjadi suku ash Nusantara yang kits kenal. Nenek moyang kita ini hidup bersama alam. Mereka percaya jika kehidupan ini berasal dad dua zat utama yang ada di dalam diri manusia-hewan dan jugs tanaman: getih dan getab. Geld) adalah darah, benvarna merah, dan Getah adalah `darah tanaman, berwarna putih.
Saat Islam menyinari Nusantara di awal abad ke-7 M, simbolisasi merah dan putih dalam bentuk benders mulai dikenal masyarakat. Ini ditegaskan berulang-ulang oleh sejarawan Mansyur Suryanegara di dalam banyak tulisannya. Mansyur merujuk pada sebuah hadits shohih yang diriwayatkan Imam Muslim dalam Kitab Al-Fitan Jilid X, halaman 340 dari Hamisy Qastalani. Di situ tertulis, Imam Muslim berkata: Zuhair bin Harb bercerita kepadaku, demikian juga Ishaq bin Ibrahim, Muhammad bin Mutsanna din Ibnu Bagyar. Ishaq bercerita kepada kami. Orang-orang lain berkata: Muaelz bin Hisyam bercerita kepada kami, ayah saya bercerita kepadaku, dad Oatadah dari Abu Qalabah, dari Abu Asma Ar-Rahabiy, dwiTsauban,Nabi SAW berrabda, Sent:1,0,6ga Allah memperlihatkan kepadaku bumi, timur dan baratnya. Dan Allah melimpahkan dua perbendaharaan kepadaku, yaitu merah dan putih.
Warna Merah dan Putih merupakan satu simbolisasi warna yang diinformasikan dalam sejarah Islam. Sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari, Abu Daud, dan Tirmidzi tentang busana perang Rasulullah SAW seperti yang dilihat salah seorang sahabat A-Barra r.a. berbunyi: Sungguh kusaksikan Rasulullah SAW berbusana hullatun merah warnanya. Dan aku belum pernah melihat busana Rasulullah saw yang seindah itu. Hullatun adalah sejenis baju rangkap dua. Selain itu, sarung pedang Panglima Perang kaum Muslimin Khalid bin Walid r.a. juga berwarna merah.
Simbolisasi merah-putih ini oleh para ulama terdahulu dilebur ke dalam tradisi lokal dalam berbagai upacara dan peristiwa penning, di antaranya alam setiap pembangunan rumah atau bangunan besar, bendera merah-putih dikibarkan di bagian paling atas proyek, dengan harapan proyek tersebut mendapatkan syafaat dari Rasulullah SAWBubur merah dan putih dibuat dan dibagikan ke para tetangga sekitar di.scat pemberian nama jabang bayi. Ini melambangkan jika saat dilahirkan, bayi diiringi darah sang bunda yang berwarna merah (QS. 96:2), dan selama di dalam rahim, 9 bulan 10 hari, bayi bisa hidup dengan asupan gizi dari darah merah sang .ibu. Setelah lahir pun, sang bayi selama lebih kurang 20 bulan 20 hari (atau sekarang dianjurkan selama 24 bulan penuh) memerlukan darah merah sang ibu dalam rupa ASI. Jadi, seorang jabang bayi membutuhkan darah ibu yang berwarna Merah dan Putih selanaa 30 bulan (QS 46: 15).Bubur merah dan putih juga biasa dibuat untuk memperingati Tahun Baru Hijriyah.Salah satu tradisi masyarakat Sunda adalah dengan mengungkapkan rasa syukur dengan bahasa simbol Kagunturan Madu Karagragan Menyan (Diberi madu dan kejatuhan menyan putih). Madu adalah lambang merah dan menyan putih adalah berbau harum.Juga merupakan sebuah kebiasaan jika para ulama terdahulu di dalam menuliskan Al-Quran, menulis asma Allah dan asma Pengganti-Nya dengan tinta merah di atas kertas yang putih.
Simbolisasi merah-putih ternyata juga dimuat di dalam ornamen Candi Borobudur, yang dibangun pada tahun 824 M saat Islam sudah bersinar di Tanah Jawa. Di salah satu dindingnya terdapat pataka di atas lukisan dengan tiga orang pengawal membawa panji merah putih yang berkibar. Pada Candi Prambanan di Jawa Tengah juga terdapat lukisan Hanoman terbakar ekornya yang melambangkan warna merah (api) dan warns putih pada bulu badannya.
Pada tahun 1222, sekira setengah abad setelah Shalahuddin al-Ayyubi membebaskan Yerusalem dan Islam telah bersinar di Nusantara selama Erna abad lebih, berdirilah Kerajaan Singosari setelah Kerajaan Kediri mengalami kemunduran. Raja Jayakatwang dan Kediri saat berperang melawan Raja Kertanegara dari Kerajaan Singosari di tahun 1292 sudah menggunakan benders merah putih. Ini terjadi saat Gajah Mada belum lahir. Jadi, kebesaran Islam di Nusantara telah ada lebih dahulu ketimbang Majapahit, sesuatu yang oleh rezim Orde Baru diselewengkan selama ini.
========================================================
Dari Sumber Yang Lain
========================================================
Memasuki bulan Agustus, bendera merah putih semarak menghiasi langit nusantara menghormati proklamasi Soekarno-Hatta. Hal demikian sudah rutin selama puluhan tahun, sehingga tidak ada kebanggaan yang lebih. Lain misalnya jika merah putih berkibar di ajang piala dunia FIFA World Cup. Dijamin langit nusantara akan semarak dengan merah putih, tanpa harus menunggu bulan Agustus. Tidak ada yang perlu disesali, zaman telah berubah.
Yang patut disesali adalah bahwa merah-putih oleh sebagian masyarakat masih ditafsirkan sebagai reinkarnasi simbol-simbol Jawa. Memang Muhammad Yamin menuliskan merah putih (gula kelapa) merupakan bendera kerajaan Majapahit yang beribu kota di Trowulan Jawa Timur, dan pernah pula dipakai oleh Kerajaan Mataram di Jawa Tengah. Kombinasi merah putih dipelihara oleh tradisi Jawa, misalnya dalam upacara selamatan yang menggunakan jenang abang putih (bubur merah putih). Atau dalam pembuatan rumah di kampung-kampung di Jawa masih mensyaratkan adanya kain merah putih yang dibalutkan pada blandar, kayu yang digunakan untuk penyangga kuda kuda atap rumah. Stigma Jawa masih bisa diperpanjang jika kita lihat misalnya pada Candi Borobudur (dibangun tahun 824 Masehi) yang pada dindingnya menampilkan tiga orang perwira yang mengibarkan pataka atau bendera. Gambar pataka tersebut menurut seorang pelukis berkebangsaan Jerman dilukiskan dengan warna merah putih.
Agama Hindu yang mendominasi Nusantara lama (dan Bali saat ini) juga memberi penghormatan yang tinggi pada merah putih dan burung garuda. Dalam alam pikiran masa Hindu, bangsa Indonesia berpegang pada nilai filosofis atau makna garuda sebagai salah satu aspek kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa sebagai burung merah putih (sveta-rakta-khagah) yang mempunyai misi untuk membebaskan umat manusia dari belenggu perbudakan atau penjajahan, baik penjajahan jasmani maupun belenggu dunia material yang menyesatkan.
Muhammad Yamin tentu saja tidak setuju jika merah putih merupakan warna tipikal Jawa atau mewakili agama tertentu. Yamin menegaskan bahwa Kerajaan Sriwijaya di Sumatera yang Budhis juga menggunakan warna ini. Tradisi orang Papua juga menghormati merah putih, misalnya dengan pepeda (campuran sagu putih dengan buah soradi berwarna merah). Dalam bukunya yang terkenal,6000 Tahun Sang Merah Putih (terbit tahun 1951), Yamin menegaskan bahwa usia sang merah putih telah mencapai 6000 tahun, jauh sebelum kebudayaan Jawa terdefinisikan dan sebelum Hindu mendominasi Nusantara.
Menurut Yamin, sekitar 6000 tahun yang lalu terjadi perpindahan orang-orang Austronesia ke Nusantara Indonesia melalui semenanjung Malaya dan Philipina. Pada zaman itu manusia memiliki cara penghormatan atau pemujaan terhadap matahari dan bulan. Matahari dianggap sebagai lambang warna merah dan bulan sebagai lambang warna putih. Sehingga zaman itu disebut pula zaman aditya candra. Aditya berarti matahari, candra berarti bulan. Penghormatan terhadap merah putih seusia migrasi orang-orang yang kelak di sebut bangsa Indonesia 6000 tahun yang lalu. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan suku atau agama tertentu.
Bendera Islam dan Bendera Rasulullah SAW
Kombinasi bulan sabit dan bintang telah identik dengan dunia Islam, sejajar dengan salib di dunia Kristen, bintang David pada Yahudi, mandala Budhisme. Tercatat ada sepuluh negara yang mayoritas berpenduduk muslim menggunakan bendera bulan sabit dan bintang (atau bulan sabit saja) antara lain Turki, Komoro, Tunisia, Aljazair, Mauritania, Maladewa, Pakistan, Malaysia, Turkmenistan dan Uzbekistan.
Cukup unik bendera Singapura, merah putih yang berhiaskan bulan bintang. Padahal kita tahu Singapura bukan negara berpenduduk mayoritas Islam apalagi negara Islam. Penggunaan merah putih kemungkinan merupakan kesadaran orang Singapura yang dahulu bernama Tumasik, salah satu vasal imperium Majapahit. Tokoh Melayu Malaysia Ibrahim Yacob pernah bercita-cita mendirikan Indonesia Raya (gabungan Indonesia dan Malaysia, termasuk Singapura) dengan bendera kebangsaan merah putih. Presiden Sukarno sangat mendukung ide tersebut. Tetapi penyatuan tersebut gagal karena Kesultanan di Malaysia lebih suka Malaysia menjadi negara persemakmuran Inggris dari pada bergabung dengan Indonesia. Kini, Malaysia masih menggunakan bulan dan bintang tetapi melepas merah putih.
Yang mengejutkan justru negara negara di jazirah Arab tidak menggunakan bulan sabit dan bintang sebagai bendera atau lambang negara. Sebut saja Saudi Arabia, berbendera warna dasar hijau dengan tulisan arab dua kalimah syahadat dengan kombinasi pedang zulfikar di bawah. Penggunaan warna dasar hijau juga mengejutkan karena menurut beberapa hadits, Rasulullah SAW mengibarkan panji berwarna hitam dengan bendera berwarna putih. Warna hijau ini tidak lepas dari paham wahabisme yang menjadi ideologi Dinasti Al-Saud yang mendirikan Kerajaan Saudi Arabia setelah berakhirnya perang dunia kedua. Sejak itu warna hijau juga diasosiasikan dengan islam bersama-sama dengan bulan bintang. Di Indonesia partai politik dan organisasi massa yang berazaskan atau bernafaskan islam juga ikut-ikutan menggunakan warna dasar hijau. Karpet masjid juga sering berwarna hijau.
Bendera atau simbol bulan sabit dan bintang berkembang pesat sebagai ciri khas dunia Islam saat Turki Ustmaniyah sebagai Khilafah Islam terakhir menggunakannya sebagai bendera Kekhalifahan. Kesultanan Aceh merupakan entitas politik yang mempunyai hubungan khusus dengan Turki Ustmaniyah. Pada abad ke-16 Sultan Aceh Alauddin Riayat Syah mengirim Duta Besar Husain Effendi ke Istanbul meminta bantuan pasukan untuk memerangi Portugis yang hendak menyerang Aceh, dengan imbalan Aceh mengakui Turki sebagai khilafah dunia islam. Sultan Turki, Selim II mengabulkan permintaan tersebut dengan mengirimkan Armada Suez yang dipimpin Laksamana Kurtoglu Hizir Reis. Dengan bantuan Turki Aceh terlepas dari penjajahan Portugis. Saat rekonstruksi Aceh pasca Tsunami, Turki memberi bantuan yang besar, salah satunya gedung ACC (Aceh Comunity Center) Sultan Selim II dengan prasasti yang mengingatkan peristiwa abad ke-16 itu. Karena hubungan yang istimewa ini Kesultanan Aceh mendapat hadiah bendera merah bulan bintang dari Ustmaniyah. Bendera ini dipelihara selama berabad-abad oleh bangsa Aceh. Bendera warisan Turki tersebut lalu dimodifikasi oleh Hasan Tiro menjadi bendera GAM (Gerakan Aceh Merdeka), berwarna dasar merah dengan dua strip hitam/putih horisontal dengan lambang bulan sabit dan bintang. Lambang yang mirip pernah juga digunakan oleh DI/TII. Apakah memang bulan bintang merupakan simbol otentik islam?
Bukti-bukti menunjukkan bahwa lambang bulan sabit dan bintang telah lama digunakan sebelum masa Islam. Masyarakat Yunani yang mendirikan kota Byzantium sejak 670 SM menggunakan lambang tersebut dalam kaitannya dengan penyembahan Artemis, Dewi Bulan dan perburuan. Byzantium jatuh ke tangan Romawi pada abad ke-2 SM. Ketika Kaisar Konstantine I berkuasa (306-337 M) ia mengadakan perubahan penting, Byzantium menjadi Konstatinople, lambang bulan sabit ditambah dengan bintang yang melambangkan Bunda Maria, Ibunda Yesus. Sejak itu bulan sabit dan bintang menjadi simbol Konstantinople, ibukota Romawi Timur. Konstantinople jatuh ke tangan Turki Ustmaniyah pada tahun 1453 M. Turki begitu bangga dengan penaklukan itu, sehingga simbol bulan sabit dan bintang digunakan oleh berbagai laskar Ustmaniyah. Selanjutnya, bulan sabit dan bintang bahkan menjadi bendera Turki Ustmaniyah.
Imperium Persia juga menggunakan bulan sabit dan bintang. Bahkan lambang tersebut tercantum pada mata uang yang dikeluarkan oleh Khosrau II. Dialah Kisra yang merobek-robek surat Rasulullah SAW. Dengan kenyataan sejarah seperti itu masihkah kita menganggap bulan bintang sebagai simbol otentik islam?
Akhir akhir ini muncul organisasi yang mengusung ide khilafah, seperti Hizbut Tahrir, yang menggunakan panji warna hitam dengan tulisan dua kalimah syahadat dan bendera warna putih dengan tulisan sama. Hizbut Tahrir menegaskan itulah panji dan bendera Rasulullah sesuai riwayat beberapa hadits. Walau telah ada pendapat yang menyatakan bahwa panji berwarna dasar hitam sesungguhnya merupakan panji Bani Abasiyah yang sudah ada sebelum islam. Sedangkan warna putih boleh jadi merupakan warna universal yang bermakna kesucian atau perdamaian. Perlu diingat bahwa saat Rasulullah menaklukan Mekah dengan damai (futuh Mekah), bendera putih itulah yang dikibarkan oleh kaum muslimin pengikut Rasulullah.
Lain lagi pendapat sejarawan Ahmad Mansur Suryanegara. Menurutnya Sang Saka Merah Putih merupakan sumbangan dari ulama Indonesia. Para ulama berjuang untuk mengenalkan Sang Saka Merah Putih adalah bendera Rasulullah SAW dengan mengajarkannya kembali sejak abad ke-7 M atau abad ke-1 H, bersamaan dengan masuknya agama islam ke Nusantara. Kemudian, Sang Saka Merah Putih dibudayakan dengan berbagai sarana : pertama, pada setiap pembicaraan atau pengantar buku diucapkan atau dituliskan sekapur sirih dan seulas pinang. Tidakkah kapur dengan sirih akan melahirkan warna merah dan apabila buang pinang diiris akan terlihat di dalamnya berwarna putih? Kedua, budaya menyambut kelahiran dan pemberian nama bayi, serta tahun baru islam dirayakan dengan menyajikan bubur merah putih. Ketiga, pada saat membangun rumah, di suhunan atas dikibarkan Sang Merah Putih. Keempat, setiap hari Jumat, mimbar di Masjid Agung atau Masjid Raya dihiasi dengan bendera merah putih. Warna ini sengaja dibaurkan dengan adat kebiasaan agar lestari dan dapat diterima oleh semua golongan.
Tentang merah putih merupakan bendera Rasulullah SAW, Ahmad Mansur Suryanegara menukilkan hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dalam Kitab Al Fitan, Jilid X, halaman 340, dari Qasthalani (pengalih bahasa Drs.Muhammad Zuhri tahun 1982), sebagai berikut : Rasulullah SAW bersabda Innallaha zawaliyal ardha, masyaariqaha wa maghariba ha wa athanil kanzaini Al-Ahmar wal Abjadh (artinya Allah menunjukkan kepadaku dunia, menunjukkan pula timur dan barat, menganugerahkan dua kazanah kepadaku Merah-Putih.
Lebih jauh Ahmad Mansur Suryanegara menerangkan bahwa warna merah digunakan untuk memanggil nama-nama istri para Nabi. Adam as memanggil istrinya Siti Hawa ra yang artinya hautun atau merah. Rasulullah SAW memanggil Siti Aisyah ra dengan humairah yang artinya merah. Demikian pula dalam penulisan Al-Quran, huruf Alloh dan kata gantinya dituliskan atau dicetak dengan warna merah. Busana Rasulullah SAW yang indah juga berwarna merah. Busana warna putih juga dikenakan beliau. Sarung pedang Rasulullah SAW dan Sayidina Ali pun berwarna merah. Sementara sarung pedang Khalid bin Walid berwarna merah putih. Warna merah putih adalah lambang kehidupan. Merah merepresentasikan darah, putih merepresentasikan air susu ibu. Oleh karena itu kelahiran bayi disertai dengan pembuatan bubur merah putih.
Tidak jelas teori siapa yang lebih unggul, Yamin atau Mansur Suryanegara. Kalau kita perhatikan genre tulisan Yamin memang ada kesan bahwa beliau alergi dengan nasionalisme Islam, sehingga ide-ide yang terkait dengan Islam dikesampingkan. Sebaliknya Mansur Suryanegara menuduh bahwa sejarawan Indonesia, termasuk Yamin, justru mengikuti tradisi berpikir Belanda yang terlalu mengagungkan kejayaan Nusantara lama tanpa mampu melihat kontribusi peradaban Islam (Api Sejarah, Salamadani, 2009). Dari sisi ini Penulis melihat bahwa Mansur Suryanegara mengajak bangsa Indonesia untuk melihat sejarah secara lebih adil. Bukan tidak mungkin bahwa merah putih adalah warna Islami, bendera Rasulullah SAW yang tertimbun oleh adat kebiasaan masyarakat Indonesia.
Sang Saka Merah Putih telah berusia 65 tahun sejak ditetapkan dalam konstitusi 1945 sebagai bendera negara. Sebagai bendera kebangsaan ia telah diterima sejak sumpah pemuda 1928. Tetapi sebagai bagian dari sejarah manusia nusantara, merah putih telah dihormati seiring dengan migrasi ras Austronesia 6000 tahun yang lalu. Merah putih adalah bendera Rasulullah SAW yang dilebur oleh ulama dalam adat kebiasaan masyarakat nusantara agar lestari dan diterima oleh seluruh golongan. Sebaliknya bulan bintang yang secara turun temurun kita anggap sebagai simbol islam justru berasal dari budaya lain.

Sumber: http://bongkarhti.blogdetik.com/