Kyai
Haji Muhammad Yahya dilahirkan pada tahun 1903 M, di desa Jetis, 10 km
arah barat kota Malang, perjalanan kearah kota Batu. Saat ini, desa
jetis berada di wilayah kerja kecamatan Dau, kabupaten Malang dan
berbatasan langsung dengan kelurahan Tlogomas yang sudah berada di
wilayah kerja kecamatan Lowokwaru, Kotamadya Malang.
Meskipun lahir di
daerah Malang, namun sebenarnya kiai Yahya memiliki darah keturunan
Jawa Tengah, tepatnya daerah Juwana, kabupaten Pati. Karena
ayahandanya, kiai Qoribun dan ibunda nyai Sarmi adalah penduduk asli
Juwana. Dari perkawinan kiai Qoribun dan nyai Sarmi itulah kiai Yahya
dilahirkan sebagai anak keempat dari tujuh bersaudara. Dengan demikian
beliau memiliki tiga kakak dan tiga adik. Kakak pertama dan kedua adalah
perempuan, yaitu Ratun dan Tasmi, sedangkan kakak ketiganya adalah
seorang laki-laki yang bernama Abdul Hamid. Ketiga adik beliau
kesemuanya laki-laki, yaitu Subadar, Jayadi dan si bungsu Nasibun.
Sejak kecil kiai
Yahya telah bersentuhan dengan ilmu agama melalui pendidikan keluarga
dengan tradisi santri yang kental. Disamping itu, beliau juga mengikuti
pendidikan dasar keagamaan yang diasuh oleh paman beliau sendiri,
yaitu kiai Abdullah yang juga salah satu mursyid thoriqoh Kholidiyah.
Di surau pesantren pamannya inilah kiai Yahya menghenal dasar-dasar
aqidah, bimbingan ibadah dan doktrin etika agama atau ilmu akhlaq.
Penguatan dasar agama dimasa kecil ini menjadikan beliau kuat dan kokoh
dalam mempertahankan prinsip serta memperoleh kemudahan dalam
mengembangkan ilmu dimasa berikutnya.
RIWAYAT PENDIDIKAN
Kiai Yahya
termasuk pecinta ilmu. Hal ini terbukti dengan lamanya masa studi
beliau dan banyaknya jumlah pesantren yang pernah ditempati untuk
menuntut ilmu. Tidak kurang dari 6 pesantren telah beliau pondoki dalam waktu lebih dari 20 tahun. Masing-masing dari keenam pesantren tersebut, telah member maziah keilmuan tersendiri bagi kiai Yahya yang kelak beliau tunjukkan dalam kiprahnya di tengah masyarakat.
Seusai menjalani
pendidikan dasar keagamaan di surau kiai Abdullah, kiai Yahya
melanjutkan pendidikan di sebuah pesantren besar di Malang, yaitu
pesantren Mbungkuk, Singosari. Tampaknya, tujuan beliau mondok di
pesantren ini selain untuk mendalami ilmu alat, fiqih dan aqidah, juga
mengharap barokah ilmu dan hikmah dari Al Allamah Almasyhur bi
Waliyillah Syaikh Hajj Muhammad Thohir. Dipesantren ini kiai Yahya
pertama kali mendapat ijazah amalan Thoriqoh Kholidiyah
dari kiai Thohir. Selepas dari pesantren Mbungkuk, kiai Yahya
memperdalam ilmu fiqih sekaligus ilmu tasawuf selama beberapa tahun
kepada Al Allamah, kiai Abbas di daerah Cempaka, Blitar.
Merasa belum
cukup, kiai Yahya mondok di pesantren Kuningan, Blitar dan kemudian
dilanjutkan lagi di pondok Siwalan, Panji, Sidoarjo yang diasuh oleh KH
Khozin. Dari Sidoarjo, kiai Yahya melanjukan kesebuah pesantren di
Kediri, tepatnya desa Jampes, yang diasuh oleh KH Moh. Dahlan.
Di pondok Jampes
inilah kesungguhan kiai Yahya dalam menuntut ilmu benar-benar teruji.
Hal ini ditunjukkan dari ketekunan dalam mengikuti pengajian yang
diberikan oleh kiai. Siang dan malam digunakan untuk mengaji dan
membaca kitab,bahkan dalam keadaan sakit sekalipun. Pernah pada waktu
pengajian kitab Ihya’ Ulumuddin, kiai Yahya dalam keadaan sakit.
Namun, kiai Yahya tetap mengikuti pengajian sampai khatam walau dalam
kondisi tidak sehat. Oleh karena itu, bisa dimaklumi bila ketinggalan
pengajian ( ada kitab yang ‘bolong’ ), maka beliau pasti
meminjam kitab pada teman santri lain, untuk mengganti ketertinggalan
itu ( dikalangan pesantren dikenal dengan istilah nembel ). Salah seorang teman akrab kiai Yahya yang biasa dipinjami adalah kiai Asy’ari asal Wajak.
Kepada kiai Dahlan, kiai Yahya pernah meminta ijin untuk menambah aurad
( wiridan ) thoriqoh selain yang telah dilakukan selama ini. Namun
kiai Dahlan tidak memberinya, bahkan menyatakan bahwa suatu saat nanti
akan datang sendiri guru thoriqoh yang akan memberi ijazah kepada kiai
Yahya.”mengko bakal teko dhewe guru thoriqoh nang awakmu”,titah
kiai Dahlan waktu itu. Setelah hampir 30 tahun, ucapan kiai Dahlan itu
terbukti. Yaitu dengan datangnya seorang ulama’ mursyid thoriqoh
Qodiriyah wa Naqsyabandiyah, yakni syekh Zainal Makarim dari Solo yang
kemudian membaiat kiai Yahya dengan ijazah thoriqoh. Pada saat itu
pulalah, beliau dibai’at sebagai mursyid thoriqoh tersebut.
Kesungguhan kiai
Yahya dalam menuntut ilmu dan kepatuhan pada guru, membuat kiai Dahlan
memberikan pembinaan tersendiri, baik secara dzahir melalui penyampaian
ilmu-ilmu kitab kuning, maupun secara batin melalui do’a dan barokah.
Salah satu bentuk barokah do’a itu, kiai Yahya pernah diludahi mulut
beliau oleh kiai Dahlan. Menurut keyakinan ulama’, barang siapa yang
diludahi oleh kiai Dahlan, maka akan mendapatkan ilmu ladunni tujuh
turunan.
Dan ketika kiai
Dahlan wafat, kiai Yahya meneruskan pengembaraan ilmunya pada sebuah
pesantren di Tulungagung yang diasuh oleh KH Asy’ari dan KH Abdul
Fatah. Namun saat pondok Jampes diasuh oleh kiai Ihsan putra KH Dahlan,
kiai Yahya kembali ke pesantren tersebut dan belajar disana selama
tujuh tahun. Pada saat di pesantren Jampes untuk kedua kalinya ini,
kiai Yahya mendapat tugas dari kiai Ihsan untuk ikut mengajar para
santri. Karena keistiqomahan, kepemimpinan dan besarnya tanggung jawab
beliau, maka kiai Yahya juga dipercaya oleh pengasuh untuk menjabat
sebagai lurah pondok ( kepala pondok ) untuk beberapa tahun. Di
pesantren ini kiai Yahya memperoleh pengalaman mengajar dan
berorganisasi yang nantinya beliau terapkan untuk mengelola pesantren
sendiri.
Atas restu kiai
Ihsan, akhirnya pada tahun 1930, kiai Yahya boyong dari pesantren
Jampes kembali ke kota kelahirannya di Malang. Pada tahun yang sama,
kiai Yahya diambil menantu oleh kiai Isma’il, dan dikawinkan dengan
putri angkat beliau yang bernama Siti Chodijah. Kiai Isma’il mengambil
putri angkat dari kemenakan beliau sendiri,yaitu kiai Abdul Majid.
Kedua ulama’ ini merupakan pengasuh generasu kedua pada Pondok
Pesantren Gadingkasri Malang, nama Pondok Pesantren Miftahul Huda saat
itu yang kemudian lebih dikenal dengan Pondok Gading
Pasangan kiai
Yahya dan nyai Chodijah benar-benar membangun mahligai rumah tangga.
Baru lima tahun setelah akad nikah, tepatnya pada tahun 1935 kiai Abdul
Majid dan kiai Isma’il wafat. Dan milai tahun itu pula, kiai Yahya
mengemban tugas ganda, baik sebagai pengasuh pesantren maupun sebagai
kepala keluarga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar