Mbah
Bisri Mustofa, adalah figur kiai yang alim dan kharismatik. Pendiri pondok
pesantren Raudhatut Thalibin Rembang Jawa Tengah ini, dilahirkan di Kampung
Sawahan Gang Palen Rembang Jawa Tengah pada tahun 1915.Semula, oleh kedua orang
tuanya, H. Zaenal Mustofa dan Chotijah, ia diberi nama Mashadi,ketiga
saudaranya yang lain adalah ,Salamah (Aminah), Misbach, dan Ma’shum, Setelah
menunaikan ibadah haji pada tahun 1923 , Ia mengganti nama dengan Bisri.
Selanjutnya. Ia dikenal dengan nama Bisri Mustofa. Mbah Bisri, belajar dan
menekuni ilmu-ilmu agama di pesantren Kasingan Rembang, yang diasuh oleh Kiai
Cholil,dipesantren ini, Mbah Bisri muda, menekuni ilmu-ilmu agama ,terutama
ilmu nahwu, dengan kitab Alfiah sebagai pegangan utamanya..
Selain
di pesantren Kasingan, Mbah Bisri juga mengaji pasanan (pengajian pada bulan
puasa) di pesantren Tebuireng Jombang, asuhan KH Hasyim Asy’ari.dan untuk
memperdalam ilmunya, Mbah Bisri juga mengaji di kota suci Makah tahun 1936,
kepada Kiai Bakir, Syaikh Umar, Syaikh Umar Khamdan al-maghribi, Syaikh Maliki,
Sayyid Amin, Syaikh Hasan Masysyath, dan Kiai Muhaimin. Kiai Cholil
Kasingan,selain sebagai guru, adalah juga sebagai mertua Mbah Bisri, ia
dinikahkan dengan putri Kiai Cholil yang bernama Ma’rufah. Setelah wafatnya
Kiai Cholil, Mbah Bisri ikut aktif mengajar di pesantren milik mertuanya
tersebut di Kasingan Rembang. Selanjutnya sewaktu pesantren Kasingan bubar,
seiring pendudukan Jepang, Mbah Bisri meneruskan pesantren tersebut dengan
mendirikan pesantren di Leteh Rembang yang kemudian diberi nama,pesantren
Raudhatut Thalibin. Pesantren ini sampai sekarang berkembang sangat pesat.
Sosok Demokratis, Sayang terhadap Putra-Putri, Santri dan Umat
Mbah Bisri beoleh dibilang sosok
yang demokratis, sayang terhadap para putra-putrinya, santri dan umat. Dalam
mendidik santri-santrinya Mbah Bisri mengedepankan kasih sayang dan
kesuriteladanan. Saking cintanya kepada para santri, dalam setiap kali mengisi
ceramah, Mbah Bisri selalu memohon kepada Allah SWT seandainya pengajiannya itu
mendapat imbalan pahala dari Allah SWT maka sebaiknya pahala itu diganti supaya
hati para santri cepat terbuka. Ini merupakan pengakuan Mbah Bisri sendiri
sebagaimana kesaksian muridnya KH Wildan Abdulchamid, Ketua MUI Kendal. Mbah
Bisri juga sangat dekat dan sayang dengan umat, dari kelas mana saja. Beliau
menerima siapa saja yang bertamu ke rumahnya, tak pandang derajat dan
pangkatnya. Rumahnya terbuka untuk umum.
Beliau juga
menghadiri setiap undangan ceramah dari siapa pun. Kecuali jika ada halangan
yang benar-benar memaksanya untuk tidak bisa hadir. Terhadap putra-putrinya pun
Mbah Bisri juga sangat sayang dan dalam mendidik dikenal cukup demokratis.
Sebagaimana pengakuan putra pertamanya, KH.Cholil Bisri (alm), bahwa abahnya
tidak pernah memaksakan anak-anaknya harus begini, dan harus begitu. Mbah Bisri
tidak pernah memaksakan anaknya dalam hal pendidikan, misalnya, harus urut
(teratur dalam jenjang pendidikan). Mbah Bisri juga tidak memaksakan dalam hal
menentukan jodoh anak-anaknya. Ia hanya memberikan kriteria-kriteria, yaitu
kriteria pasangan yang bisa diajak berjuang.
Sikap
demokratis dan tidak mau dipaksa, dan memaksa orang itu, bisa dilihat dari
cerita, ketika Mbah Bisri muda, hendak dinikahkan dengan putri Kiai Murtadho,
Makam Agung Tuban. Ketika itu, bulan Sya’ban tahun 1934 M, Bisri muda diajak
oleh KH Cholil, gurunya di Kasingan Rembang, untuk pergi ke Tuban Jawa Timur.
Kepergian tersebut tidak jelas apa tujuan dan mengapa Mbah Bisri muda diajak.
Setelah sampai di Jenu, di rumah KH. Chusain, KH Cholil berkata kepada Mbah
Bisri muda: “Engkau mau nggak saya akui sebagai anak saya dunia-akhirat?” Tentu
saja Mbah Bisri muda menjawab: “Ya mau Syaichuna.” KH Cholil meneruskan :
“Kalau begitu Engkau harus patuh kepadaku.” Mbah Bisri muda pun diam sebagai
tanda tidak menolak.
Kemudian KH Cholil berkata lagi;
“Engkau akan saya kawinkan dengan puteri KH Murtadho Makam Agung Tuban.
Puterinya itu ayu, manis, dan Bapaknya yaitu KH Murtadho adalah seorang kiai
yang alim, beruntung Engkau menjadi menantunya.” Akan tetapi, Mbah Bisri muda
memberanikan diri untuk menolak, perintah kawin tersebut. Ia merasa belum
pantas untuk menikah, karena ilmu yang ia pelajari masih sangat kurang. KH
Cholil kemudian menjawab bahwa justru itu sebabnya Bisri muda akan dikawinkan
dengan puteri seorang kiai besar dan alim, agar nantinya ia menjadi orang laim
juga. Tanpa diberikan kesempatan membalas bicara, Mbah Bisri muda langsung
diajak masuk ke rumah Kiai Murtadho Tuban. Di tempat itu sepertinya sudah
dipersiapkan segala hal, untuk menerima tamu KH Cholil dan Bisri muda yang akan
melakukan khitbah (pertunangan) kepada puteri Kiai Murtadho. Sesampai di rumah
tujuan, Bisri muda merasa beruntung, karena sang puteri yang akan ditunangkan
dengannya ternyata lari dan bersembunyi ketika melihatnya.
Hal ini yang
dijadikan alasan Bisri muda untuk menolak perintah kawin. Tetapi KH Cholil
sudah melakukan perundingan dengan KH Murtadho bahwa keputusan mengawinkan Bisri
muda dengan puteri KH Murtadho sudah bulat. Telah diputuskan bahwa pada tanggal
7 Syawal tahun 1934 M , Kiai Murtadho akan bertandang ke Rembang bersama
puterinya untuk khitbah (tunangan) dan sekaligus dilangsungkan dengan akad
nikah. Tanggal 3 Syawal,beberapa hari sebelum kerawuhan KH Murtdlo dan
putrinya, Bisri muda ditemani Sdr. Mabrur meninggalkan Rembang tanpa pamit
kepada siapapun. Hal ini ia lakukan sebagai bentuk penolakan dari perintah
kawin tersebut. `
Keduanya
merantau ke Demak, Sayung, Semarang, kaliwungu, Kendal, dengan berbekal uang
yang pas-pasan. Setiap keduanya mampir ke tempat teman atau orang tua teman,
keduanya mendapat tambahan bekal. Hal ini dilakukan selama satu bulan lebih.
Rantauan paling lama beliau tempati adalah daerah kampung Donosari Pegandon
Kendal. Setelah sebulan lebih hidup diperantauan,Ia kembali ke Rembang. Bisri
muda langsung menghadap KH Cholil dan meminta maaf atas kelakuannya terebut.
Dijabatnya tangan KH Cholil, tetapi tidak sepatah kata pun terucap dari mulut KH
Cholil. Walau Bisri muda mau pamit kembali, dan menjabat tangan KH Cholil,
tetapi sang Kiai masih saja berdiam diri. Seperti biasanya Bisri muda mengikuti
kembali pengajian-pengajian di pesantren dan dalam setiap pertemuan itu Bisri
muda sama sekali tidak ditanya oleh KH Cholil sebagaimana biasanya.
Tahun 1932 M,
Bisri muda minta izin kepada KH Cholil untuk meneruskan mondok ke Termas untuk
mengaji dengan Kiai Dimyati. Tetapi KH Cholil tidak mengizinkan. Sementara
Bisri muda merasa dikucilkan oleh KH Cholil gara-gara tidak mau dinikahkan
dengan putri KH Murtadho. “Pengucilan” tersebut, sampai sekitar setahun lebih,
dan berakhir dengan berita di luar dugaan. Berita itu adalah, tentang keinginan
KH Cholil untuk mengambil Bisri muda sebagai menantunya. Bisri muda akan
dijodohkan dengan puteri KH Cholil, yang bernama Ma’rufah. Berita itu ia
dapatkan dari ibunya ketika Beliau pulang ke rumahnya di Sawahan. Ibunya
menceritakan bahwa KH Cholil telah datang kepadanya dan meminta Bisri untuk
dijadikan menantunya.
Bisri kemudian
mengalami kebingungan mendengar berita tersebut. Akan tetapi setelah melihat
bahwa ibu dan seluruh keluarganya termasuk kakaknya H Zuhdi menyetujuinya, maka
hati Bisri menjadi mantap dan setuju untuk menikah. Setelah segala sesuatunya
dipersiapkan maka tanggal 17 Rajab 1354 H / Juni 1935 dilaksanakan akad nikah
antara Bisri dengan Ma’rufah binti KH Cholil. Pada waktu itu Bisri berusia 20
tahun dan Ma’rufah juga berusia 20 tahun. Setelah menjadi menantu KH Cholil,
Bisri muda membantu mengajar di pesantren KH Cholil, pesantren dimana Bisri
muda menemba ilmu. Pernikahannya ini dikaruniai delapan orang anak, yaitu;
Cholil (lahir 1941), Mustofa (lahir 1943), Adieb (lahir 1950), Faridah (lahir
1952), Najichah (lahir 1955), Labib (lahir 1956), Nihayah (lahir 1958) dan
Atikah (lahir 1964). Seiring perjalanan waktu, Mbah Bisri kemudian menikah lagi
dengan seorang perempuan asal Tegal Jawa Tengah bernama Umi Atiyah. Peristiwa
tersebut kira-kira tahun 1967-an. Dalam pernikahan dengan Umi Atiyah tersebut
,Mbah Bisri dikaruniai satu orang putera laki-laki bernama Maemun.
Ditengah kesibukannya mengajar di
pesantren, menjadi penceramah, bahkan politisi. Mbah Bisri tetap menyempatkan
diri untuk menulis,, dan waktu luangnya, tidak dilewatkannya begitu saja,
bahkan di kereta, di bus, di mana saja ,Ia sempatkan untuk menulis. Banyak
kitab, baik bertema berat, maupun ringan,lahir sebagai karya tulisnya. Di
antara karyanya yang paling terkenal adalah, tafsir Al-Ibriz, yang disusun
kembali dari penjelasan pengajian beliau oleh tiga orang santri, yaitu :
1) Munshorif, 2) Maghfur, dan 3).
Ahmad Shofwan
(sekarang tinggal di Benowo Surabaya) kemudian kitab Al-Usyuthy, terjemahan
kitab Imrithy, dan kitab Ausathul Masalik terjemahan kitab Alfiyah Ibnu Malik.
Tidak hanya tema-tema yang berat saja yang ditulis oleh Mbah Bisri, tema-tema
yang ringan pun ternyata juga Beliau tulis, seperti buku kumpulan anekdot
Kasykul, Abu Nawas, novel berbahasa Jawa Qohar lan Sholihah; naskah drama Nabi
yusuf lan Siti Zulaikha; Syiiran Ngudi Susilo; dsb. Di luar kitab-kitab dan
buku-buku tersebut, masih banyak karya-karya lain yang berhasil ditulisnya.
Dalam menulis, Mbah Bisri mempunyai ‘falsafah’ yang menarik.
Sebagaimana
dikisahkan oleh Gus Mus, salah seorang putra Mbah Bisri, bahwa pernah suatu
ketika, beliau berbincang-bincang dengan salah seorang sahabatnya, yakni Kiai
Ali Maksum Krapyak, tentang tulis-menulis ini. “Kalau soal kealiman, barangkali
saya tidak kalah dari sampeyan, bahkan mungkin saya lebih alim,” kata Kiai Ali
Maksum ketika itu, dengan nada kelakar ,seperti biasanya, “tapi mengapa
Sampeyan bisa begitu produktif menulis, sementara saya selalu gagal di tengah
jalan. Baru separo atau sepertiga, sudah macet tak bisa melanjutkan.”. Dengan
gaya khasnya, masih cerita Gus Mus, Mbah Bisri menjawab: “Lha soalnya Sampeyan
menulis lillahi ta’ala sih!” Tentu saja jawaban ini mengejutkan Kiai Ali. “Lho
Kiai menulis kok tidak lillahi ta’ala; lalu dengan niat apa?” Mbah Bisri
menjawab: “Kalau saya, menulis dengan niat nyambut gawe. Etos, saya dalam
menulis sama dengan penjahit. Lihatlah penjahit itu, walaupun ada tamu,
penjahit tidak akan berhenti menjahit.
Dia menemui
tamunya sambil terus bekerja, soalnya bila dia berhenti menjahit ,periuknya
bisa ngguling,saya juga begitu, kalau belum-belum, sampeyan sudah niat yang
mulia-mulia, setan akan mengganggu sampeyan dan pekerjaan sampeyan tak akan
selesai..”katan Mbah Bisri..”… Lha nanti kalau tulisan sudah jadi, dan akan
diserahkan kepada penerbit, baru kita niati yang mulia-mulia, linasyril ‘ilmi
atau apa. Setan perlu kita tipu.” Lanjut Mbah Bisri sambil tertawa. (Gus Mus
dalam Taqdim buku Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah KH Bisri Mustofa, LkiS,
Jogja, 2005, hlm. xxi-xxii).
Pemikiran
keagamaan Mbah Bisri oleh banyak kalangan dinilai sangat moderat. Sifat moderat
Mbah Bisri merupakan sikap yang diambil dengan menggunakan pendekatan ushul
fiqh yang mengedepankan kemashlahatan dan kebaikan umat Islam yang disesuaikan
dengan situasi dan kondisi zaman serta masyarakatnya. Pemikiran Mbah Bisri
sangat kontekstual. Mbah Bisri Mustofa,adalah seorang ulama Sunni, yang gigih
memperjuangkan konsep Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Obsesinya untuk membumikan
konsep Ahlus Sunnah Wal Jamaah dibuktikan dengan dibuatnya buku tentang Ahlus Sunnah
Wal Jamaah, yang sampai tiga kali revisi, untuk disesuaikan dengan kebutuhan
zaman dan masyarakat. Ia juga menyerukan adanya konsep amar ma’ruf nahi munkar
yang dimaknai dan didasari oleh solidaritas dan kepedulian sosial. Obsesinya
untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar ini ditunjukkan dengan disejajarkannya
konsep tersebut dengan rukun-rukun Islam yang ada lima. Mbah Bisri sering
mengatakan bahwa seandainya boleh maka rukun Islam yang ada lima itu ditambah
rukun yang keenam yakni amar ma’ruf nahi munkar. Pemikiran-pemikiran Mbah Bisri
tersebut biasanya dituangkan dalam tulisan-tulisan. Salah satu buku beliau yang
menjadi acuan Ahlussunnah wal jamaah adalah buku yang berjudul "Apa, Bagaimana dan Siapa Itu Ahlussunnah Wal Jamaah?"
yang dapat dibaca dengan mudah di situs ini juga.
Menjadi Pejuang Gigih dan Macan Podium
Darah pejuang
agaknya sudah kental dalam diri Mbah Bisri. Sejak era penjajahan Belanda,
Jepang, era kemerdekaan, sampai akhir hayatnya, Beliau adalah pejuang yang
gigih. Setelah Indonesia merdeka, Mbah Bisri sangat bersemangat untuk ikut
membangun bangsa ini. Dalam kancah politik beliau disegani oleh semua kalangan.
Sebelum NU keluar dari Masyumi, Mbah Bisri merupakan aktivis Masyumi yang gigih
berjuang. Akan tetapi setelah NU menyatakan keluar dari Masyumi, Beliau total
berjuang untuk NU. Tahun 1955 Mbah Bisri menjadi anggota konstituante, wakil
dari Partai NU. Setelah tahun 1959 terbit Dekrit Presiden yang membubarkan
Dewan Konstituante dan dibentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat, Mbah Bisri
masuk di dalamnya. Mbah Bisri juga dikenal sebagai seorang orator handal, Singa
podium.
Dalam setiap
kampanye beliau selalu menjadi juru kampanye andalan dari partainya. Menurut KH
Syaifudin Zuhri, teman seperjuangan di NU, yang mantan Menteri Agama, Mbah
Bisri merupakan sosok yang cukup pandai berpidato, dengan mengutarakan hal-hal
yang sebenarnya sulit, menjadi gamblang dan mudah diterima oleh orang desa
maupun kota, sesuatu yang membosankan, menjadi mengasyikkan, kritik-kritiknya
tajam, meluncur begitu saja dengan lancar dan menyegarkan. Pihak yang terkena
kritik tidak marah karena disampaikan dengan sopan dan menyenangkan. Selain
itu, beliau mampu menghibur dengan humor-humornya yang membuat semua orang
tertawa terpingkal-pingkal.
Di samping
politisi gigih dan singa podium, Mbah Bisri juga dikenal sebagai seorang pelobi
dan negosiator yang sangat handal. Pergulatan di dunia politik tetap dijalani
Mbah Bisri hingga era pemerintahan orde baru. Ketika semua partai Islam
(termasuk NU) harus berfusi ke Partai persatuan Pembangunan (PPP), Mbah Bisri
terlibat aktif membesarkan PPP. Beliau menjadi tokoh yang disegani di partai
tersebut. Menjelang masa kampanye Pemilu 1977,yang kurang seminggu lagi,
tepatnya hari Rabu, 17 Februari 1977 (27 Shafar 1397 H), waktu asar, Mbah
Bisri, salah seorang ulama besar umat ini, dipanggil ke haribaan Allah SWT.
Mbah Bisri Mustofa wafat di Rumah sakit Dr. Karyadi Semarang karena serangan
jantung, tekanan darah tinggi, dan gangguan pada paru-paru.
Saat pemakaman
Mbah Bisri, masyarakat Rembang dan umumnya Jawa Tengah bahkan juga, dari
berbagai pelosok negeri ini, berdatangan dan bertakziah, untuk memberikan
penghormatan kepada almaghfurlah. Ratusan ribu pelayat rela
berdesak-desakan,untuk menghadiri upacara pemakaman. Tidak jarang yang berebut
untuk dapat mencium pipi almaghfurlah,sebagai tanda cinta dan penghormatan .
Umat merasakan betul telah ditinggalkan seorang kiai, ulama, pemimpin,
sekaligus bapak.serta Singa Podium yang produktip menulis,Karya karyanya akan
abadi. Semoga Allah SWT memberi tempat yang mulia kepada Beliau. Dan umatnya
yang ditinggalkan bisa mengambil suri tauladan dan meneruskan semangat juang
Beliau. Amin.
Silakan mengutip dengan
mencantumkan nama almihrab.com
Penting
Kyai Bisri Mustofa menyebar
sejumlah santri utusan untuk menemui kyai-kyai Rembang. Mereka ditugasi
mengundang para kyai itu agar hadir di kediaman Kya i Bisri pada waktu yang
ditentukan, untuk suatu KEPERLUAN PENTING.
Maka terjadilah, pada waktu yang
ditentukan itu para kyai berkumpul di Leteh, Rembang.
"Keperluan penting apa ini,
'Sri?" Mbah Kyai Ma'shum bertanya.
"Nanti lah, 'Yi" jawab
Kyai Bisri, "dahar-dahar dulu..."
Santri mengusung nampan nasi
dengan sambal terong di tengahnya, menyajikannya di hadapan para kyai.
"Monggo... monggo..."
Kyai Bisri mempersilahkan.
Para kyai pun
kembul-terong-gosong dengan nikmat sekali, diselingi obrolan-obrolan ringan dan
guyon-guyon nostalgia mengenang waktu masih mondok. Tanpa terasa, nampan licin
tandas dan semua merasa kenyang.
Dihiasi kepulan asap rokok yang
berlenggak-lenggok, para kyai meneruskan obrolan dan candaan mereka, ditingkahi
gelak-tawa yang gayeng sekali.... hingga akhirnya salah-seorang kembali
teringat,
"Lho... ini keperluan
pentingnya kok nggak mulai-mulai?"
"Iya, 'Sri", Mbah
Ma'shum pun menimpali, "sekarang sudah makan, lekaslah... keperluan
pentingnya apa?"
Menyedot rokok dalam-dalam dan
menghembuskannya dengan nikmat, Kyai Bisri menjawab,
"Kumpul-kumpul silaturrahim
begini ini masa tidak penting?
sumber.aswajanu.com