Kecintaan Allahuyarham Mbah Muntaha sapaan akrab KH. Muntaha
Al-Hafizh Kalibebeber Wonosobo terhadap Al-Qur’an tak dapat diragukan
lagi. Hampir seluruh usianya dihabiskan untuk menyebarkan dan
menghidupkan Al-Qur’an.
Yang Paling monumental adalah gagasannya membuat mushaf Al-Qur’an
Akbar (Al-Qur’an Raksasa) dengan tinggi 2 meter, lebar 3 meter dan berat
1 kuintal lebih. Sebuah karya mahaagung yang sempat dikala itu
diusulkan masuk ke Guiness Book Of Record.
KH Muntaha al-Hafizh
lahir di desa Kalibeber kecamatan Mojotengah, Kabupaten Wonosobo dan
wafat di RSU Tlogorejo Semarang, Rabu 29 Desember 2004 dalam usia 94
tahun. Ada beberapa keterangan berbeda tentang kapan tepatnya Mbah
Muntaha Lahir.
Pertama, ada yang mengatakan Kiai Muntaha lahir
pada tahun 1908. Kedua, ada pula yang menyatakan bahwa Kiai Muntaha
lahir pada tahun 1912. Hal ini didasarkan pada dokumentasi pada KTP /
Paspor dan surat-surat keterangan lainnya, Mbah Muntaha lahir pada
tanggal 9 Juli 1912.
Ayahanda Kiai Muntaha adalah putra ketiga
dari pasangan KH. Asy’ari dan Ny. Safinah. Sebelum Kiai Muntaha, telah
lahir dua kakaknya, yakni Mustaqim dan Murtadho.
Sejak kecil
hingga dewasa, Kiai Muntaha menimba banyak ilmu dari sejumlah Kiai
Pesantren. Sebelum itu, Kiai Muntaha mendapat didikan langsung dari
kedua orang tuanya, KH. Asy’ari dan Ny. Safinah.
Lahir dalam
keluarga Pesantren, Kiai Muntaha banyak memperoleh didikan berharga dari
Ayah dan Ibundanya seperti membaca Al-Qur’an dan ilmu-ilmu keislaman.
Kedua orang tuanya memang dikenal sangat telaten dan sabar dalam
mendidikan putra-putrinya.
Selanjutnya dari Kalibeber, Kiai
Muntaha memulai perjalanan menuntut ilmunya ke berbagai Pesantren di
tanah air. Kiai Muntaha sebagaimana umunya santri dizaman itu berkenala
untuk mencari ilmu dari Pesantren ke Pesantren berikutnya.
Ada
satu hal sangat menarik berkaitdan dengan proses pencarian ilmu Kiai
Muntaha saat masih muda. Ketika Kiai Muntaha berangkat menuntut ilmu ke
Pesantren Kaliwungu, Pesantren Krapyak, dan Pesantren Termas, ia selalu
menempuh perjalanan dengan cara berjalan kaki. Melakukan riyadhah demi
mencari ilmu semacam itu dilakukan Kiai Muntaha dengan niatan ikhlas
demi memperoleh keberkahan ilmu.
Di setiap melakukan perjalanan
menuju Pesantren, Kiai Mutaha selalu memanfaatkan waktu sambil
mengkhatamkan Al-Qur’an saat beristirahat untuk melepas lelah. Kisah ini
menunjukkan kemauan keras dan motivasi spiritual yang tinggi yang
dimiliki Kiai Muntaha dalam mencari ilmu.
Setelah berkenalan dari
berbagai Pesantren, Kiai Muntaha kembali ke Kalibeber pada tahun 1950.
Ia kemudian meneruskan kepemimpinan ayahnya dalam mengembangkan Al-
Asy’ariyyah di desa kelahirannya, Kalibeber, Wonosobo.Di bawah
kepemimpinan Mbah Muntaha inilah, Al-Asy’ariyyah berkembang pesat.
Berbagai kemajuan signifikan terjadi masa ini.
Dalam kehidupan
keluarga dan masyarakat, KH. Muntaha adalah pribadi yang bersahaja. Mbah
Muntaha sangat sayang kepada keluarga, santri dan juga para tetangga,
serta masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya.
Pecinta Al-Qur’an Sepanjang Hayat
Kecintaan
Kiai Muntaha terhadap Al-Qur’an sebenarnya berawal dari kecintaan
ayahandanya , Kiai Asy’ari terhadap Al-Qur’an. Dalam usia relatif muda
yakni 16 tahun, Kiai Muntaha telah menjadi hafizh Al-Qur’an.
Hampir
seluruh hidup Mbah Muntaha didedikasikan untuk mengamalkan dan
mengajarkan nilai-nilai Al-Qur’an kepada para santrinya dan juga pada
masyarakat umumnya.
Dalam kesehariannya, Mbah Muntaha selalu
mengajar para santri yang menghafalkan Al-Qur’an. Para santri selalu
tertib dan teratur satu per satu memberikan setoran hafalan kepada Kiai
Muntaha. Mbah Muntaha selalu berjuang untuk menanamkan nilai-nilai
Al-Qur’an kepada santri-santrinya.
Sepanjang hidup Mbah Muntaha,
Al Qur’an senantiasa menjadi pegangan utama dalam mengambil berbagai
keputusan, sekaligus menjadi media bermunajat kepada Allah Swt. Mbah
Muntaha tidak pernah mengisi waktu luang kecuali dengan Al-Qur’an.
Sering
Kiai Muntaha mebaca wirid atau membaca ulang hafalan Al-Qur’an di pagi
hari seraya berjemur. Menurutnya, wirid dan dzikir yang paling utama
adalah membaca Al-Qur’an. Itulah sebabnya, Kiai Muntaha menasehati para
santri untuk mengkhatamkan Al-Qur’an paling tidak seminggu sekali.
Kecintaan
Kiai Muntaha terhadap Al-Qur’an juga diwujudkan melalui pengkajian
tafsir Al-Qur’an, dengan menulis tafsir maudhu’i atau tafsir tematik
yang dikerjakan oleh sebuah tima yang diberi nama Tima Sembilan yang
terdiri dari sembilan orang ustadz di Pesantren Al-Asy’ariyyah dan para
dosen di Institut Ilmu Al-Qur’an (sekarang UNSIQ) Wonosobo. Gagasan Kiai
Muntaha tentang penulisan tafsir ini mengandurng maksud untuk
menyebarkan nilai-nilai Al-Qur’an kepada masyarakat luas.
Dan
puncak realisasi kecintaan Kiai Muntaha terhadap Al-Qur’an ditunjukkan
dengan perealisasian idenya tentang penulisan Al-Qur’an dalam ukuran
raksasa yang sering disebut dengan Al-Qur’an akbar utuh 30 juz.
Al-Qur’an
akbar itu ditulis oleh dua santri Al-Asy’ariyyah yang juga mahasiswa
IIQ yaitu H. Hayatuddin dari Grobogan dan H. Abdul Malik dari
Yogyakarta. Ketika penulisan Al-Qur’an akbar yang kertasnya merupakan
bantuan dari Menteri Penerangan (H. Harmoko di kala itu) itu selesai,
Al-Qur’an itu pun diserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia di
istana negara.
Mungkin Kiai Muntaha melihat banyak orang Islam
telah meninggalkan Al-Qur’an, atau bahkan sama sekali tidak mau membaca
Al-Qur’an, sehingga Mbah Muntaha tidak henti-hentinya menasehati anggota
Hufadz wa Dirasatal Qur’an (YJHQ) untuk terus memasyarakatkan
Al-Qur’an. Dakwah serupa juga selalu Mbah Muntaha sampaikan saat Beliau
berkunjung ke berbagai belahan dunia seperti Turki, Yordania, Mesir dan
lain sebagainya.
Dari hal-hal yang sudah disebutkan, menjadi
jelas bahwa sosok dan pribadi Kiai Muntaha al-Hafidz adalah sosok sosok
yang sangat mencintai Al-Qur’an secara fisik maupu nbatin. Seluruh
hidupnya diperuntukkan untuk berdakwah menyebarkan nilai-nilai Al-Qur’an
ke masyarakat.
sumber: www.nu.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar