Tahun 1942, tentara Dai Nippon
memasuki nusantara merebut kekuasaan dari Belanda. Kehadiran mereka
yang mengaku saudara tua mendapat respon positif dari tokoh-tokoh
pergerakan nasional yang sedang semangat memperjuangkan kemerdekaan. Tak
lama berselang, kejahatan Nippon (Jepang) sebagai penjajah tampak kepermukaan. Orang-orang dewasa dipaksa sebagai romusha. Gadis-gadis dijadikan jugun ianfu (pemuas nafsu). Dan yang paling menyakitkan mereka mewajibkan saikere, sikap merunduk sebagai penghormatan kepada kaisar mereka yang dianggap sebagai titisan Dewa Matahari.
Di Kencong, tentara Nippon yang sering diplesetkan menjadi nippong (nipu wong), merampas paksa hasil tani rakyat atas nama zakat untuk biaya "jihad"
perang melawan sekutu. Tentu saja hal ini mendapat reaksi keras dari
ulama. Pengurus NU Kencong mengadakan pengajian umum di Masjid Jami'
Kencong, mengingatkan masyarakat agar menentang dan menolak peraturan
itu. Sebagai muballigh, ditunjuklah pemuda pendatang, pengelana
dari Sedan, Rembang, KH. Jauhari Zawawi. Penjara Kenpetai Jepang di
pojok depan masjid (sekarang SD Muhammadiyah Kencong), dan kaki tangan
Jepang yang banyak berkeliaran, tidak menggetarkan hati beliau, bersuara
lantang bahwa, zakat untuk Jepang, tidak sah.
KH. Jauhari Zawawi adalah cucu R. Yusuf Mangkudirjo, keturunan Sunan Kalijaga. Mbah
putrinya, Ny. Saroh binti Muhsin adalah cucu Mbah Saman bin Sriman
dari Klampis, Madura, mantan prajurit Goa Selarong, pasukan inti
Pangeran Diponegoro yang kemudian memilih berjuang di bidang pendidikan
dan merintis berdirinya Pondok Pesantren Sarang, Rembang Jawa Tengah.
Sementara ibu beliau, Ny. Umamah bin K. Nur Khotib adalah keturunan
ke-9 Sayid Abdurrahmah Ba Syaiban alias Mbah Sambu, Lasem.
Beliau
lahir di Waru, Sidorejo, Sedan, Jumat Wage tahun 1911. Di halaman
rumah beliau dilahirkan, sampai sekarang masih berdiri kokoh madrasah
diniyah yang dirintis Abahnya, KH. Zawawi bersama Syaikh Hamzah Syatha,
cucu Sayid Bakri Satha, pengarang "I'anah al-Thalibin". Ketika
Alfiyah sudah dihafalkan pada usia 11 tahun, beliau mengatakan bahwa
ini bukan hal yang luar biasa. Ketika mondok pada KH. Khaliq, Kasingan,
beliau pernah di-ta'zir nguras peceren, karena tidak mampu menjawab pertanyaan kyainya. Ta'zir inilah yang mendorong beliau lebih tekun belajar disertai riadlah. Hingga pada suatu saat, beliau diberi futuh oleh Allah untuk memahami apapun yang ia pelajari, bahkan meski sedang tidur saat pengajian.
Pencarian KH. Jauhari terhadap ilmu tidak hanya cukup di desanya saja, beliau melanjutkan mondok kepada KH. Abd. Syakur, Suidang, abah KH. Abul Fadlol, Senori yang masih saudara nenek beliau, Ny. Saroh. Di sana, beliau nyambi ngaji nduduk pada KH. Ma'ruf, Jatirogo. Setelah itu beliau tinggal di Kajen, Pati mengaji kepada kyai-kyai dzurriyah Mbah Mutamakkin, seperti KH. Mahfudh (Abah KH. Sahal Mahfudh), KH. Nawawi dan lain sebagainya.
Kurang lebih dua tahun di Kajen, KH. Jauhari pindah ke Sarang, ngaji kepada KH. Umar, KH. Syu'aib, KH. Imam, dan KH. Zubair yang kelak menjadi besan beliau (mertua KH. A. Sadid Jauhari). Lalu tabarrukan di Termas di pesantren KH. Dimyati (adik Syaik Mahfudh At-Turmusi). Keris sangkolan abahnya terpaksa dijual untuk bekal mondok.
Bagaimanapun ilmu itu warisan para Nabi yang lebih berharga dibanding
warisan apapun. Barangkali ini yang ada dalam pikiran beliau, ketika
pusaka pemberian abahnya.
Puas menjelajah pesantren-pesantren di Pantura, KH. Jauhari melanjutkan pencariannya ke Tebu Ireng Jombang, berguru kepada Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari. Meski hanya berbekal nasi kerak dan pakaian compang-camping, beliau mantapkan niat untuk mengaji.
Setelah
beberapa lama di Tebu Ireng, beliau diajak KH. M. Yasin ke
Probolinggo. Di sini beliau mendirikan madrasah, dibantu oleh K.
Nawawi, Pajarakan, hingga berkembang pesat. Tetapi, setelah kurang
lebih dua tahun berada di sana, KH. Jauhari memanggil adiknya KH.
Atho'illah, meneruskan perjuangannya di Probolinggo, untuk melanjutkan
pengelanaan ke Tanah Suci.
Di
Mekah yang saat itu berkecamuk perang Wahabi, KH. Jauhari berguru
kepada ulama-ulama Mekah, saat itu, seperti Syaikh Masduqi, Syeikh
Hamdan, Syeikh Amin Kutby dan lain-lain. Di Mekah inilah beliau bertemu
H. Ridwan dan isterinya, jamaah haji asal Kencong, yang kelak menjadi
pilihan terakhir untuk menyebarkan ilmu dan berjuang.
Di Kencong sebagai tempat iqamah permanen, KH. Jauhari memulai nasyrul ilmi dengan membantu mengajar di Langgar Waqaf Ky. Sholihi, disamping membuka pengajian sendiri di ndalem. Inilah cikal bakal berdirinya Pondok Pesantren As-Sunniyyah.
Tahun
1946, tentara gabungan Belanda dari Probolinggo, Banyuwangi, Jember,
Situbondo dan Bondowoso dengan persenjataan lengkap mengadakan serangan
umum dari berbagai penjuru, menumpas para gerilyawan Kencong. Basis
pertahanan tentara Hizbullah di Cakru di bumi hangus, memaksa
rakyat dan para gerilyawan menyingkir ke daerah rawa-rawa, walau harus
menempuh resiko serangan binatang buas. Akibat serangan ini, seluruh
perlawanan rakyat lumpuh. KH. Jauhari yang termasuk target utama buronan
Belanda harus berpindah-pindah tempat.
Satu
tahun setelah NU didirikan, di Kencong sudah berjalan
pengajian-pengajian NU yang dimotori oleh Ky. Zein. Setelah beberapa
tahun NU Kencong berstatus ranting, melalui perjuangan dan perjalanan
yang melelahkan, pada tanggal, 16 Rajab 1356 H./21 September 1937 M.
Cabang NU Kencong berdiri, membawahi seluruh wilayah kawedanan Puger,
melalui keputusan Hoofd Bertuur Nahdlatoel Oelama (HBNO) yang berkedudukan di Surabaya.
Dalam
konperensi Cabang NU Kencong tahun 1950 yang diselenggarakan di
Pesantren KH. Abdullah Yaqin, Mlokorejo, KH. Jauhari terpilih menjadi
Rais Syuriah PCNU Kencong pertama kali setelah Indonesia Merdeka secara de facto dan de Jure, menggantikan KH. Abd. Kholiq. Inilah salah satu kiprah KH. Jauhari dalam organisasi keagamaan terbesar di Indonesia ini.
Loyalias
KH. Jauhari terhadap NU beserta jajaran pengurus atasannya tidak
diragukan sama sekali. Beliau aktif dalam kegiatan-kegitan NU. Namun,
karakter beliau yang mutasyaddid (keras) menyatakan keluar dari
NU, setelah Muktamar Nasional NU di PP. Salafiyah Syafi'iyyah Situbondo,
yang kala itu diasuh KH. As'ad Syamsul Arifin, menetapkan Pancasila
sebagai asas NU. Argumentasi KH. Ahmad Shidiq yang ahli diplomasi, tidak
mampu meluluhkan hati beliau.
Rabu
Kliwon, 11 Shafar 1415 H yang bertepatan dengan 20 Juli 1994, jam
05.10 Istiwa' menjelang maghrib, KH. Jauhari Zawawi menghadap Sang
Kekasih yang beliau rindukan. Keesokan harinya ribuan pelayat
menyaksikan kepergian beliau menuju taman-taman surga. Al-Maghfurlah
meninggalkan empat orang putra dan seorang isteri serta Pondok
Pesantren Assunniyyah, di tengah putaran arus zaman yang semakin jauh
dari nilai-nilai Islam. Allahumma la taftinna ba'dahu waghfir lana wa lahu. Amin.
Disarikan dari buku "KH. Jauhari Zawawi, Pengelana, Pejuang, Da'i Yang Mukhlis dan Konsis.
sumber: http://ahmad-nu.blogspot.com
sumber: http://ahmad-nu.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar