Senin, 13 Agustus 2012

KH. Muhammad Yahya, Gading, Malang

Kyai Haji Muhammad Yahya dilahirkan pada tahun 1903 M, di desa Jetis, 10 km arah barat kota Malang, perjalanan kearah kota Batu. Saat ini, desa jetis berada di wilayah kerja kecamatan Dau, kabupaten Malang dan berbatasan langsung dengan kelurahan Tlogomas yang sudah berada di wilayah kerja kecamatan Lowokwaru, Kotamadya Malang.
Meskipun lahir di daerah Malang, namun sebenarnya kiai Yahya memiliki darah keturunan Jawa Tengah, tepatnya daerah Juwana, kabupaten Pati. Karena ayahandanya, kiai Qoribun dan ibunda nyai Sarmi adalah penduduk asli Juwana. Dari perkawinan kiai Qoribun dan nyai Sarmi itulah kiai Yahya dilahirkan sebagai anak keempat dari tujuh bersaudara. Dengan demikian beliau memiliki tiga kakak dan tiga adik. Kakak pertama dan kedua adalah perempuan, yaitu Ratun dan Tasmi, sedangkan kakak ketiganya adalah seorang laki-laki yang bernama Abdul Hamid. Ketiga adik beliau kesemuanya laki-laki, yaitu Subadar, Jayadi dan si bungsu Nasibun.
Sejak kecil kiai Yahya telah bersentuhan dengan ilmu agama melalui pendidikan keluarga dengan tradisi santri yang kental. Disamping itu, beliau juga mengikuti pendidikan dasar keagamaan yang diasuh oleh paman beliau sendiri, yaitu kiai Abdullah yang juga salah satu mursyid thoriqoh Kholidiyah. Di surau pesantren pamannya inilah kiai Yahya menghenal dasar-dasar aqidah, bimbingan ibadah dan doktrin etika agama atau ilmu akhlaq. Penguatan dasar agama dimasa kecil ini menjadikan beliau kuat dan kokoh dalam mempertahankan prinsip serta memperoleh kemudahan dalam mengembangkan ilmu dimasa berikutnya.
RIWAYAT PENDIDIKAN
Kiai Yahya termasuk pecinta ilmu. Hal ini terbukti dengan lamanya masa studi beliau dan banyaknya jumlah pesantren yang pernah ditempati untuk menuntut ilmu. Tidak kurang dari 6 pesantren telah beliau pondoki dalam waktu lebih dari 20 tahun. Masing-masing dari keenam pesantren tersebut, telah member maziah keilmuan tersendiri bagi kiai Yahya yang kelak beliau tunjukkan dalam kiprahnya di tengah masyarakat.
Seusai menjalani pendidikan dasar keagamaan di surau kiai Abdullah, kiai Yahya melanjutkan pendidikan di sebuah pesantren besar di Malang, yaitu pesantren Mbungkuk, Singosari. Tampaknya, tujuan beliau mondok di pesantren ini selain untuk mendalami ilmu alat, fiqih dan aqidah, juga mengharap barokah ilmu dan hikmah dari Al Allamah Almasyhur bi Waliyillah Syaikh Hajj Muhammad Thohir. Dipesantren ini kiai Yahya pertama kali mendapat ijazah amalan Thoriqoh Kholidiyah dari kiai Thohir. Selepas dari pesantren Mbungkuk, kiai Yahya memperdalam ilmu fiqih sekaligus ilmu tasawuf selama beberapa tahun kepada Al Allamah, kiai Abbas di daerah Cempaka, Blitar.
Merasa belum cukup, kiai Yahya mondok di pesantren Kuningan, Blitar dan kemudian dilanjutkan lagi di pondok Siwalan, Panji, Sidoarjo yang diasuh oleh KH Khozin. Dari Sidoarjo, kiai Yahya melanjukan kesebuah pesantren di Kediri, tepatnya desa Jampes, yang diasuh oleh KH Moh. Dahlan.
Di pondok Jampes inilah kesungguhan kiai Yahya dalam menuntut ilmu benar-benar teruji. Hal ini ditunjukkan dari ketekunan dalam mengikuti pengajian yang diberikan oleh kiai. Siang dan malam digunakan untuk mengaji dan membaca kitab,bahkan dalam keadaan sakit sekalipun. Pernah pada waktu pengajian kitab Ihya’ Ulumuddin, kiai Yahya dalam keadaan sakit. Namun, kiai Yahya tetap mengikuti pengajian sampai khatam walau dalam kondisi tidak sehat. Oleh karena itu, bisa dimaklumi bila ketinggalan pengajian ( ada kitab yang ‘bolong’ ), maka beliau pasti meminjam kitab pada teman santri lain, untuk mengganti ketertinggalan itu ( dikalangan pesantren dikenal dengan istilah nembel ). Salah seorang teman akrab kiai Yahya yang biasa dipinjami adalah kiai Asy’ari asal Wajak.
Kepada kiai Dahlan, kiai Yahya pernah meminta ijin untuk menambah aurad ( wiridan ) thoriqoh selain yang telah dilakukan selama ini. Namun kiai Dahlan tidak memberinya, bahkan menyatakan bahwa suatu saat nanti akan datang sendiri guru thoriqoh yang akan memberi ijazah kepada kiai Yahya.”mengko bakal teko dhewe guru thoriqoh nang awakmu”,titah kiai Dahlan waktu itu. Setelah hampir 30 tahun, ucapan kiai Dahlan itu terbukti. Yaitu dengan datangnya seorang ulama’ mursyid thoriqoh Qodiriyah wa Naqsyabandiyah, yakni syekh Zainal Makarim dari Solo yang kemudian membaiat kiai Yahya dengan ijazah thoriqoh. Pada saat itu pulalah, beliau dibai’at sebagai mursyid thoriqoh tersebut.
Kesungguhan kiai Yahya dalam menuntut ilmu dan kepatuhan pada guru, membuat kiai Dahlan memberikan pembinaan tersendiri, baik secara dzahir melalui penyampaian ilmu-ilmu kitab kuning, maupun secara batin melalui do’a dan barokah. Salah satu bentuk barokah do’a itu, kiai Yahya pernah diludahi mulut beliau oleh kiai Dahlan. Menurut keyakinan ulama’, barang siapa yang diludahi oleh kiai Dahlan, maka akan mendapatkan ilmu ladunni tujuh turunan.
Dan ketika kiai Dahlan wafat, kiai Yahya meneruskan pengembaraan ilmunya pada sebuah pesantren di Tulungagung yang diasuh oleh KH Asy’ari dan KH Abdul Fatah. Namun saat pondok Jampes diasuh oleh kiai Ihsan putra KH Dahlan, kiai Yahya kembali ke pesantren tersebut dan belajar disana selama tujuh tahun. Pada saat di pesantren Jampes untuk kedua kalinya ini, kiai Yahya mendapat tugas dari kiai Ihsan untuk ikut mengajar para santri. Karena keistiqomahan, kepemimpinan dan besarnya tanggung jawab beliau, maka kiai Yahya juga dipercaya oleh pengasuh untuk menjabat sebagai lurah pondok ( kepala pondok ) untuk beberapa tahun. Di pesantren ini kiai Yahya memperoleh pengalaman mengajar dan berorganisasi yang nantinya beliau terapkan untuk mengelola pesantren sendiri.
Atas restu kiai Ihsan, akhirnya pada tahun 1930, kiai Yahya boyong dari pesantren Jampes kembali ke kota kelahirannya di Malang. Pada tahun yang sama, kiai Yahya diambil menantu oleh kiai Isma’il, dan dikawinkan dengan putri angkat beliau yang bernama Siti Chodijah. Kiai Isma’il mengambil putri angkat dari kemenakan beliau sendiri,yaitu kiai Abdul Majid. Kedua ulama’ ini merupakan pengasuh generasu kedua pada Pondok Pesantren Gadingkasri Malang, nama Pondok Pesantren Miftahul Huda saat itu yang kemudian lebih dikenal dengan Pondok Gading
Pasangan kiai Yahya dan nyai Chodijah benar-benar membangun mahligai rumah tangga. Baru lima tahun setelah akad nikah, tepatnya pada tahun 1935 kiai Abdul Majid dan kiai Isma’il wafat. Dan milai tahun itu pula, kiai Yahya mengemban tugas ganda, baik sebagai pengasuh pesantren maupun sebagai kepala keluarga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar